BEBERAPA elite Mataram tengah berkumpul di istana Kartasura. Mereka sedang berhitung kemungkinan kekalahan VOC melawan Tionghoa. Bila itu benar terjadi, perdagangan akan dikuasai orang-orang Tionghoa.

Ada perbedaan antara Kompeni dan Tionghoa dalam urusan dagang. Tionghoa tidak berambisi menguasai wilayah. Mereka semata-mata akan berdagang. Tidak akan mencampuri kekuasaan kerajaan.

Ini sangat bertolak belakang dengan Kompeni. Mereka berdagang sembari menguasai wilayah. Padahal sesuatu yang terkait dengan penguasaan tanah merupakan hal sangat sensitif bagi seorang raja Jawa.

Sejak ada pemikiran itu, maka gagasan untuk berpihak pada orang Tionghoa mulai tampak ke permukaan. Namun keraguan atas kemampuan militer Tionghoa menghadapi pasukan VOC tetap menjadi pertimbangan. Elite-elite Mataram ingin melihat bukti orang-orang Tionghoa punya kekuatan sepadan dengan VOC.

Mereka sadar, bila kekuatan Tionghoa mengalami kekalahan dan Kartasura telanjur memberikan dukungan, hal itu mengandung risiko yang besar. Malapetaka bisa mengancam Mataram. Takhta Susuhunan Paku Buwono II bisa saja lepas. Muncul pemberontakan para pangeran yang sejak lama ingin berkuasa. Mereka akan mengambil kesempatan saat posisi Paku Buwono II lemah.

VOC dapat menggilas dibantu para bupati yang ingin merebut kekuasaan Susuhunan. Yang berpotensi melakukan itu seperti Bupati Madura Cakraningrat. Sudah beberapa waktu Cakraningrat tidak bersedia sowan ke Kartasura. Setiap acara Garebeg Maulud, ada kewajiban para bupati menghadap raja. Namun sudah absen beberapa kali tanpa ada kejelasan.

Tanda-tanda mbalela alias membangkang tampak jelas ditunjukkan Cakraningrat. Saat Paku Buwono II meminta menindak, VOC enggan melakukan. Sunan merasa kompensasi yang diberikan Kompeni tidak sebanding dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan Mataram.

Selama ini Mataram rajin memenuhi beragam kewajiban sebagai konsekuensi ditekennya Perjanjian 8 November 1733. Di antaranya, membayar uang 10.000 real setiap tahunnya selama 22 tahun. Membiayai Garnisun Kompeni di Kartasura sebesar 15.600 real per tahun dan menyetorkan beras sebanyak 1.000 koyan per tahun selama 50 tahun.

Memasuki 1741 atau delapan tahun setelah perjanjian, Kartasura mulai berpikir ulang. Pembayaran berbagai tunggakan utang plus bunganya dihentikan. Hubungan Mataram dengan VOC kemudian terhenti. Ini seiring memanasnya situasi Batavia pascadibantainya ribuan orang-orang Tionghoa. Efeknya menjalar ke mana-mana

Sebagian orang Tionghoa di Jawa mulai melawan Kompeni. Perlawanan pertama terjadi di Majawa Pati pada 1 Februari 1741. Sejumlah orang Tionghoa bersenjatakan bedil, tombak, dan pedang berkeliaran di desa itu, Jumlahnya 37 orang. Mereka membunyikan terompet danĀ  simbal Tionghoa sembari mengibarkan bendera warna merah dan hitam.

Kelompok ini menyerang rumah Kopral VOC Class Lutten. Mereka menjarah dan membakar rumah serdadu Kompeni itu. Class Lutten tewas. Kepalanya dipenggal. Kelompok ini diidentifikasikan orang-orang Tionghoa miskin. Mereka memiliki ciri khas berkucir.

Dua bulan kemudian pada April 1741 muncul gerakan lebih besar di Tanjung Welahan. Gerakan dipimpin Singseh. Terdesak menghadapi pasukan Tionghoa, VOC meminta bantuan Bupati Demak Wirasastro.

Dia adik dari Tirtawiguna, sekretaris Paku Buwono II. Sebelum bupati Demak, Wirasastro menjabat bupati Lembahrawa. Dengan berbagai alasan, Wirasastri tak kunjung memberikan bantuan. VOC terdesak menghadapi gerakan ini.

Singseh telah menentukan sikap. Berlindung pada kekuasaan Mataram yang saat itu mulai melawan Kompeni. Ketika perlawanan di Batavia meluas ke timur, para pemimpin Tionghoa di Jawa Tengah bagian utara mulai melapor ke penguasa setempat. Penguasa Mataram memberikan simpati dengan gerakan mereka. (zam/rg)