Menjabat kepala Puskesmas Gedongtengen membuat dokter Tri Kusumo Bawono sangat akrab dengan dunia esek-esek. Maklum, di wilayahnya banyak dihuni pekerja seks komersial. Dia pun membuat inovasi pelayanan ramah Orang Dengan HIV/AIDS (Peradha). Yang membuatnya diganjar penghargaan pertama sebagai Dokter Teladan tingkat DIJ.

Inovasi Peradha, layanan ini dilakukan guna mengurangi stigma terhadap penderita HIV di tengah masyarakat. Termasuk jiga petugas kesehatan. Selain itu juga untuk mempermudah para penderita ini memperoleh obat dan perawatan.

“Kita tahu stigma terhadap penderita ini sangat tinggi di tengah masyarakat, kasihan mereka kalau harus mendapat diskriminasi,” kata Tri kepada Radar Jogja belum lama ini.

Tri menambahkan, layanan Peradha ini meliputi pelayanan jalur khusus One Stop Service (OSS), menambah konselor HIV, membuat group WA pendamping, hingga mengubah paradigma tenaga kesehatan (nakes) tentang ODHA.

Dari pelayanan itu yang dilakukannya yakni bertemu dengan orang-orang yang beresiko tinggi. Tujuannya untuk mengajak mereka melakukan tes HIV. Setelah ditemukan mereka reaktif dan positif maka mereka kemudian diajak untuk berobat dan patuh minum obat secara rutin.

Tentunya dengan harapan mereka merubah perilaku, kualitas hidupnya kembali seperti semula, bisa bermanfaat untuk orang lain. “Dan usia produktif yang dia hadapi bisa kembali seperti semula,” ungkapnya.

Adapaun usia produktif penderita HIV ini sangat tinggi yakni mulai dari 15 tahun sampai dengan 59 tahun. Di Puskesmas yang dipimpinnya, melalui klinik yang digagasnya OSS, berhasil menarik 319 orang yang mau berobat. Melayani pemeriksaan yang meliputi tes HIV secara sukarela, tes Infeksi Menular Seksual (IMS), home redaction atau pengurangan dampak buruk bagi pengguna narkotika.

Layanan di dalamnya berupa insusi penerima wajib lapor bagi pengguna narkotika, pemberian jarum suntik steril bagi pengguna narkotika suntik, pemberian obat PTRM (Pusat Terapi Rumatan Metadon). “Obat ini untuk diminum sejak tahun 2009 dan kami bertahap,” tuturnya.

Sejak 2009 ini pasien yang mengakses PTRM tersebut terdapat sekitar 25 orang pasien. Jumlah pasien ini mengalahkan dari salah satu rumah sakit yang menjadi rujukan, yang hanya menerima sedikitnya satu sampai dua orang pasien. “Lama-lama pasien turun jadi 12 ini bermacam-macam, ada yang bosan, meninggal, pindah tempat, bahkan yang sembuh ada,” tambahnya.

Kemudian layanan tes HIV yang memiliki dua layanan statis dan mobile. Pelayanan mobile tersebut dilakukan oleh Bapak dari tiga anak itu harus mendatangi dari satu tempat ke tempat lain yang sekiranya berisiko tinggi terhadap penyakit HIV seperti tempat-tempat hiburan malam, salon SPA, lokasi prostitusi, dan lain-lain.

Diakunya, tak mudah masuk ke wilayah itu. Dia harus membangun kepercayaan dengan berbagai tokoh masyarakat yang ada disana agar bisa melancarkan tugasnya itu. “Tiap kali saya datang sowan, saya izin dulu dengan tokoh yang ada di sana,” ceritanya.

Memang pada awalnya dia bersama timnya mendapat penolakan. Tetapi karena membawa itikad baik, lama kelamaan mereka pun mau menerimanya. Apalagi segala sesuatunya dia seorang diri melakukannya seperti harus mengambil sampel darah.

Tidak hanya itu didalam tugasnya itu dia juga melakukan advokasi atau edukasi kepada para pekerja seks komersial (PSK). Tentang penyakit IMS hingga penggunaan kondom yang benar.

Caranya yang dilakukan itu tidak biasa. Tidak kaku. Tidak terlalu formal layaknya sebagai penasihat dan tempat keluh kesah mereka.”Saya langsung berikan nomor saya ke mereka, kalau ada yang mau konsultasi secara personal saya akan layani,” ujarnya.

Kepeduliannya terus ia tunjukkan dengan menjawab telepon maupun pesan pribadi dari masyarakat yang berisiko. Mulai dari PSK, Waria, ODHA, pengidap IMS, maupun yang lainnya. Tak kenal waktu dan tempat. Kapanpun dan dimanapun.

Hal yang dianggapnya biasa ini, lantaran Tri sedang berusaha menjaring orang yang berisiko ini agar mau terlayani pengobatannya. Tapi tidak dengan penerimaan istrinya “Istri waktu belum mengerti pernah kaget, tapi sekarang sudah mulai mengerti,” tuturnya sambil tersenyum.

Menurut dia, kepedulian dengan cara ini memang dianggap penting demi kelangsungan hidup mereka. Karena beberapa kali dia menemukan pasien IMS dan HIV yang tidak mau mengutarakan kondisinya sendiri. Karena malu.

Hingga pasien seperti ini mengalami gangguan mental dan bunuh diri. “Padahal jika mereka mendapat perhatian, bisa saja akan tertolong karena mendapat penanganan dan bisa disembuhkan,” jelasnya.

Usahanya juga berhasil menembus batas pelayanan hingga ke Kepolisian, Lembaga Pemasyarakatan, atau Balai Pemasyarakatan. Karena mengantongi payung hukum yang dibuat oleh Dinas Kesehatan DIJ untuk melakukan tugasnya. Dengan langkahnya itu maka pelayanannya semakin diminati oleh masyarakat terutama bagi penderita yang terinfeksi HIV.

Hal ini dicapainya karena berkat menjalin kerjasama dari berbagai pihak meliputi LSM, Kepolisian, rumah tahanan, lapas maupun bapas. Pelayanan disini diprioritaskan kepada pengguna narkotika, “Ini kami rutin datang sebulan dua kali untuk pelayanan disini, tak menutup kemungkinan mereka juga sebagai pengida HIV,” tambahnya.

Jika mereka ada yang terindikasi terkena virus HIV maka tak tanggung-tanggung pelayanannya. Agar kondisi mereka yang ditahan ini bisa dipulihkan, dia bersama timnya memiliki inisiatif mengantarkan obat dan memberikan terapi metadhone kepada penghuni lapas. “Saya lakukan ini untuk cari pahala, konsep yang saya terapkan untuk pelayanan kedokteran ini personal care menganggap pasien itu sebagai sosok manusia bukan dilihat dari penyakitnya,” ungkapnya. (**/cr15/pra)