MELUASNYA perlawanan orang-orang Tionghoa di Jawa di bawah komando Kapitan Sepanjang dinilai cukup menggembirakan. Perkembangan itu semakin membesarkan semangat Susuhunan Paku Buwono II mendukung perlawanan Tionghoa. Sikap raja Mataram itu terlihat lebih terbuka.
Meski begitu, ada ganjalan dirasakan Sunan. Ternyata belum semua elite kerajaan satu kata dengan dirinya. Beberapa bupati, kerabat, maupun penasihat kerajaan masih punya pandangan lain. Bahkan sejumlah bupati pesisir menyarankan Paku Buwono II tidak melawan Kompeni. Alasannya, tindakan itu akan berakibat fatal.
Menanggapi saran itu, Sunan bereaksi keras. Raja menunjukkan sikap tidak suka. Perjuangan orang-orang Tionghoa harus didukung. Di mata Sunan, saat ini adalah momentum tepat bagi Mataram mengusir orang-orang Belanda dari Tanah Jawa. Kesempatan tidak pernah datang dua kali.
Pada 13 Mei 1741, Sunan mengadakan rapat kabinet. Semua pejabat Mataram diundang datang di Istana Kartasura. Termasuk para bupati. Dalam rapat tersebut Paku Buwono II memberikan sejumlah arahan. Khususnya menyangkut upaya membantu orang-orang Tionghoa.
Tahu bahwa di kabinetnya belum satu suara, Sunan kemudian memerintahkan semua bupati dan pejabat mengucapkan ikrar kesetiaan. Mereka disumpah untuk bersiap-siap menyerang Kompeni. Laskar Tionghoa akan dijadikan mitra koalisi Mataram.
Sumpah setia itu juga disertai catatan. Bagi para bupati dan pejabat Mataram yang gagal menjalankan tugas harus siap dijatuhi sanksi. Ancaman terberatnya hukuman mati. Ikrar itu sekaligus menguji nyali dan loyalitas bawahannya. Raja ingin melihat mana yang setia dan mana yang setengah hati.
Menyikapi perkembangan itu, dua pepatih dalem Notokusumo dan Pringgalaya memilih bersikap hati-hati. Mereka berdalih ingin mendalami situasi. Terutama terkait kapasitas tempur pasukan Tionghoa di medan laga. Sebab, pasukan VOC didukung bedil, meriam, dan perlengkapan perang yang lengkap.
Mengetahui anaknya bersikap konfrontatif dengan Kompeni, Ibu Suri Ratu Amangkurat memberikan nasihat. Permaisuri Sunan Amangkurat IV itu menasihati Paku Buwono II agar tidak berpisah dengan VOC. Risikonya terlalu berbahaya. Begitu antara lain nasihat yang diberikan ibunda raja.
Mendengar itu, Sunan memilih berdiam diri. Raja kemudian menunggu kejelasan dan ketegasan sikap dari Kompeni. Khususnya menyangkut kompensasi bagi Mataram jika ikut membantu memerangi orang-orang Tionghoa. Bila tidak ada kompensasi apa pun, Mataram akan menggempur VOC. Raja memerintahkan pasukan komando khusus dan gerak cepat Mataram bersiaga. Levelnya siaga satu. Sewaktu-waktu ada perintah, pasukan harus siap bertempur.
Pada kesempatan lain, Paku Buwono II ingin memberikan isyarat pada orang-orang Tionghoa. Mataram bersimpati terhadap perjuangan kelompok tersebut. Isyarat itu terungkap lewat keinginan mendapatkan seorang istri Tionghoa. Karena di Kartasura tidak ada yang memenuhi syarat, Sunan meminta bantuan penguasa VOC di Semarang Visscher mencarikan perempuan Tionghoa yang pantas dijadikan istri.
Dalam perkembangan berikutnya, kedua patih Mataram, Notokusumo dan Pringgalaya berusaha menerjemahkan dhawuh (perintah) Sunan. Selama ini, keduanya saling bersaing. Memainkan pengaruh guna mendapatkan atensi atasannya. Meski kerap berseberangan pendapat, kali ini keduanya kompak. Pendapat kedua orang terdekat Sunan itu sama. Baik Notokusumo maupun Pringgalaya berpandangan condong melawan VOC. Perjuangan orang-orang Tionghoa harus disokong. Keduanya hanya beda dalam cara mengutarakan pendapat. Notokusumo lebih sering mengambil inisiatif. Sebaliknya, Pringgalaya memilih mengambil jalan sesuai kehendak Paku Buwono II. Raja akhirnya mengeluarkan keputusan politik. Mataram membantu laskar Tionghoa menghadapi Kompeni.(yog/rg/bersambung)