ADA persoalan klasik sistem anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Pemerintah Kabupaten Sleman yang perlu dievaluasi. Hal itu menjadi catatan utama Badan Anggaran DPRD Sleman selama lima tahun terakhir.

Wakil Ketua DPRD Sleman Periode 2014-2019 Sofyan Setyo Darmawan melihat sejauh ini pembahasan APBD di Badan Anggaran tidak pernah memunculkan detail daftar prioritas kegiatan pemerintah. Khususnya terkait pembangunan infrastruktur maupun sumber daya manusia.

Menurut Sofyan, alokasi plafon anggaran prioritas yang disodorkan tim anggaran eksekutif masih terlalu global. Dan hanya mendasarkan pada asumsi-asumsi umum. Misalnya plafon anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari total APBD. Atau alokasi untuk bidang kesehatan sebesar 10 persen. “Tapi belum pernah ada list secara detail yang berkaitan dengan urgensi kebutuhan masyarakat,” ujarnya Rabu (21/8).

Dalam pembahasan di Badan Anggaran, dewan hanya mendapat data alokasi anggaran yang bersifat urusan wajib dan pendukung. Padahal, anggaran urusan wajib maupun pendukung seharusnya masih bisa dipecah-pecah lagi. Disesuaikan dengan skala prioritas masing-masing. Yang selanjutnya dibahas lagi secara lebih komprehensif. Sebagai bagian dari rencana kerja pemerintah daerah. Dengan begitu akan muncul alasan kuat terkait faktor pembeda bujet antarbidang kegiatan. Karena sering kali anggaran bidang tertentu porsinya terlalu besar. Sebaliknya, ada bidang lain yang sangat kecil pagunya.

Menurut Sofyan, hal itu terjadi lantaran pengalokasian anggaran di organisasi perangkat daerah (OPD) hanya merujuk pada volume pekerjaan. Di dinas pekerjaan umum dan permukiman, misalnya. Yang setiap tahun selalu menyedot anggaran besar pada APBD. Selain itu, pengalokasian anggaran masih terbatas pada euforia kebutuhan saja. Khususnya terkait pembangunan infrastruktur. Misalnya untuk kegiatan pemeliharaan jalan. Sehingga anggaran untuk pengadaan aspal membengkak. “Padahal penting mana dengan pemberdayaan perempuan untuk mengentaskan kemiskinan,” ucap Sofyan. “Apakah infrastruktur itu memang prioritas? Kenapa tidak pemberdayaan perempuan yang lebih menjadi prioritas, misalnya,” sambung politikus Partai Keadilan Sejahtera itu.

Sofyan memandang, anggaran pemberdayaan perempuan juga perlu di up grade. Terutama anggaran yang terkait dengan kegiatan pengentasan kemiskinan. Bentuknya bisa berupa fasilitasi sarana dan prasarana maupun pelatihan. Hal itu sekaligus untuk mengangkat harkat dan martabat, serta peran perempuan dalam pengentasan kemiskinan di Sleman.

Dengan optimalisasi anggaran pemberdayaan perempuan, maka neraca APBD untuk pembangunan infrastruktur bisa diturunkan. Atau disesuaikan lagi. “Ini yang harus ditinjau ulang,” tegasnya.

Sofyan menegaskan, kritiknya bukan berarti sistem penganggaran Pemkab Sleman tidak on the track. Hanya, skala prioritasnya belum tajam dan detail. Bahkan cenderung sporadis. Karena pertimbangannya hanya berdasarkan masukan banyak pihak. Bukan kajian secara komprehensif.

Sofyan lantas membandingkan prioritas penanganan kemiskinan, pendidikan, dan derajat kesehatan masyarakat dengan infrastruktur jalan. Menurutnya, pembangunan infrastruktur tetap penting. Tapi tetap harus dibandingkan lagi dengan kegiatan lain yang lebih mendesak untuk didahulukan. “Makanya pengalokasian anggaran pemerintah harus detail dan komprehensif. Supaya road map-nya lebih jelas. Apa target yang akan dicapai,” ujarnya.

Sebagai pengemban aspirasi masyarakat, kata Sofyan, Badan Anggaran DPRD Sleman harus akomodatif. Memperjuangkan aspirasi tersebut. Serta melakukan pendampingan dan pembinaan secara komprehensif pula. Toh aspirasi tersebut juga bertujuan menyelesaikan setiap permasalahan masyarakat. “Yang jelas, pola penganggaran untuk setiap kegiatan harus dilihat dengan kacamata yang lebih holistik. Tidak parsial,” katanya.

Ihwal alokasi pada APBD 2020 senilai sekitar Rp 3 triliun pun, menurut Sofyan, kondisinya belum ada perbedaan. Masih kurang detail berdasarkan prioritas kebutuhan. Secara umum masih terfokus pada belanja modal yang selalu meningkat. Khususnya belanja barang dan jasa habis pakai.

Di bagian lain, penganggaran juga harus dikaitkan dengan kebutuhan sumber daya manusia (SDM). Misalnya terkait kekosongan atau kekurangan SDM bidang pendidikan dan kesehatan.

Penentuan kuota pegawai negeri sipil (PNS) maupun aparatur sipil negara (ASN) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kotrak (P3K) memang oleh pemerintah pusat. Kendati demikian, faktanya selama ini kuota yang disediakan selalu jauh dari kebutuhan. Tenaga pendidik atau guru, misalnya. Sleman masih kekurangan sekitar 500-an. Sementara formasi yang tersedia tak pernah lebih dari 10 persen dari yang diusulkan per tahun. Sedangkan jumlah guru yang pensiun setiap tahunnya juga sekitar 10 persen. Artinya, tingkat kekurangan guru selalu stagnan setiap tahun. Meskipun selalu ada penambahan kuota dari pusat. “Hal ini juga berpengaruh pada APBD. Bukan tidak mungkin pemerintah daerah lah yang nantinya membiayai tambahan ASN itu,” katanya.

Soal penggajian pegawai memang ada dukungan pusat berupa dana alokasi umum. Tapi tetap saja manajemen pengelolaannya tetap lewat APBD. Itulah keterkaitan masalah kebutuhan SDM dengan kemampuan keuangan daerah. Jika Pemerintah Kabupaten Sleman memang mampu secara keuangan, hal ini bisa menjadi bahan untuk sounding kepada pemerintah pusat terkait kuota formasi pegawai. Itulah yang perlu dikonsultasikan ke pusat. Apakah jika kebutuhan SDM itu dipenuhi semua lantas akan menelan anggaran terlalu besar yang memberatkan keuangan pemerintah atau ada faktor lain. “Ini pentingnya prioritas anggaran harus dirinci lebih detail,” tandasnya.

Ke depan, Sofyan berpesan kepada anggota Badan Anggaran DPRD Sleman periode 2019-2024 untuk mengawal dan memantapkan skala prioritas anggaran pemerintah daerah. Juga memantapkan pengawasan penggunaan anggaran. Dengan meningkatkan komunikasi dan koordinasi bersama Badan Pemeriksa Keuangan.(*/yog/fj)