PERANG antara pasukan koalisi Mataram-Tionghoa dengan Kompeni masih berlangsung. Dari laporan Patih Notokusumo kepada Susuhunan Paku Buwono II disimpulkan situasi lapangan tidak menentu. Mataram tidak dalam posisi menang atau kalah.
Laporan Notokusumo itu dibahas dalam rapat kabinet di Istana Kartasura. Hadir para petinggi kerajaan seperti Tumenggung Pringgalaya, Pangeran Hangabehi, Pangeran Hadiwijaya, Pangeran Mangkubumi, dan Tumenggung Mangkuyuda.
Sunan membuka rapat dengan mengungkapkan kekhawatiran atas kekalahan pasukan koalisi Mataram-Tionghoa di Semarang dan Jawa Timur. Karena itu, raja berpandangan soal kemungkinan Mataram membuka ruang dialog dengan VOC.
Paku Buwono II kemudian mempersilakan peserta rapat memberikan tanggapan. Komentar pertama datang dari Mangkubumi. Adik raja itu menilai kekalahan koalisi Mataram-Tionghoa di Semarang masih bersifat sementara. Ini tidak dapat dijadikan alasan mengubah tekad mengusir Kompeni dari tanah Jawa.
Pringgalaya berpendapat sebaliknya. Dia mendukung opsi berhenti berperang melawan VOC. Pertimbangannya, senjata Kompeni jauh lebih lengkap. Jika perang terus berlangsung, kerugian lebih besar justru dialami Mataram.
Pandangan berbeda disampaikan Mangkuyuda. Dia memberikan pendapat seputar posisi Mataram yang menghadapi dua lawan sekaligus. Pertama, VOC. Koalisi Mataram-Tionghoa telah berupaya melawan. Namun hasilnya belum menggembirakan. Kedua, ada kerabat istana yang membelot. Mereka seperti Raden Mas (RM) Said atau Pangeran Suryokusumo, Pangeran Buminata, Pangeran Pamot, dan Raden Wiramenggala, putra Pangeran Tepasana atau cucu Sunan Amangkurat III.
Mangkuyuda mengusulkan kekuatan Mataram agar dikonsentrasikan untuk menyelesaikan persoalan internal ini. Pertimbangannya, kekuatan para pangeran pembelot itu belum besar. Bibit-bibit disintegrasi dari Negara Kesatuan Kerajaan Mataram harus dilakukan. Perjuangan melawan VOC dapat diteruskan setelah selesainya masalah internal tersebut.
Di pihak Kompeni pendapat ingin segera mengakhiri perang melawan Mataram juga disadari. Hugo Verijsel, penguasa VOC di Semarang, menyadari kemelut di Jawa tidak mungkin hanya didekati dengan cara militer. Dia membuka gagasan berunding dengan Mataram.
Dalam pandangan Verijsel, perang yang berkepanjangan akan menimbulkan biaya besar. Sebaliknya, kalau perundingan terlaksana, Kompeni dapat mengajukan kontrak baru dengan Mataram.
Petinggi VOC di Batavia sejalan dengan langkah itu dan meminta segera diambil langkah memisahkan orang Jawa dengan Tionghoa. Orang-orang Tionghoa yang melawan akan diberikan pengampunan. Dengan pemisahan itu, kekuatan Mataram akan menjadi lemah. Kompeni merasa lebih mudah menekan Kartasura.
Ada empat prasyarat diajukan Kompeni kepada Paku Buwono II. Empat hal itu terdiri atas diserahkannya Madura ke VOC, pengangkatan dan pemberhentian patih dilakukan setelah mendapat persetujuan Kompeni, dan semua daerah pesisir diserahkan ke VOC.
Selain itu, penyerahan daerah pesisir diperhitungkan dengan utang-utang Mataram. Semua daerah pesisir tetap berada di bawah Kompeni sepanjang Mataram belum dapat melunasi semua utangnya.
Batavia menginstrusikan jika semua prasyarat itu ditolak Paku Buwono II, Verijsel diperintahkan mengambil tindakan tegas. Dikeluarkan manifesto untuk melindungi para bupati bawahan Mataram yang bersedia mendukung VOC. Setelah itu, para bupati itu diajak menyerang Kartasura. Jika Paku Buwono II kalah, Mataram akan berakhir. Musnah dan sekadar menjadi cerita sejarah. Itulah target Kompeni.
Di luar dugaan, Verijsel ternyata tidak senang dengan semua instruksi Batavia itu. Untuk menyelesaikan sengketa dengan Mataram, dia punya cara dan pendekatan berbeda dengan bos-bosnya di Batavia. Dalam perhitungan Verijsel, musnahnya Mataram justru menimbulkan masalah besar bagi VOC.(yog/bersambung)