Kepala VOC Perwakilan Semarang Hugo Verijsel tengah mencari jalan tengah menyelesaikan kemelut di Jawa. Di berpendapat pengampunan bagi semua orang Tionghoa tidak banyak artinya. Jumlah orang Tionghoa di Jawa tak sebanyak di Batavia. Amnesti sebaiknya hanya diberikan kepada orang-orang Tionghoa yang mau bekerja sama.
Verijsel kemudian berkolaborasi dengan Khe Yonko, seorang komandan lapangan VOC yang masih keturunan Tionghoa. Dia diberi tugas membujuk orang-orang Tionghoa yang kooperatif dengan Kompeni.
Terkait masalah Madura, Verijsel ingin agar Bupati Madura Cakraningrat ditekan untuk menyerahkan wilayah Mataram yang telah dikuasainya. Dengan penyerahan itu, Verijsel yakin Susuhunan Paku Buwono II bersedia melepaskan Madura.
Verijsel tidak setuju jika semua kabupaten di pesisir Jawa dikuasai VOC. Kalau itu sampai terjadi, Mataram bukan hanya kehilangan wilayah dan sumber pajak terbesarnya. Mataram menjadi kerajaan terpencil. Pendapatannya hanya mengandalkan hasil pertanian. Padahal, Kompeni sebenarnya tetap berkeinginan memelihara keberadaan Mataram.
VOC sejak awal tidak punya hasrat menjadi penguasa menggantikan Mataram. Alasannya, biaya yang harus ditanggung terlampau besar. Ditambah dari survei yang dilakukan Verijsel, para bupati tidak punya pemikiran kedaulatan Paku Buwono II digantikan Kompeni.
Terbukti selama perang Mataram-Tionghoa melawan VOC tidak satupun bupati yang aktif membantu Kompeni. Juga tidak ada yang secara terbuka menyerang Mataram. Ini menunjukan pengaruh Paku Buwono II di lingkungan masyarakat Jawa masih kuat. VOC dapat saja menghancurkan Mataram sebagaimana instruksi Batavia kepada Verijsel.
Namun jika langkah itu yang dipilih justru menimbulkan masalah berat bagi Kompeni. Banyak pihak yang akan berebut kekuasan. Situasi kamtibmas akan sulit dikendalikan. VOC akan kembali mengeluarkan ongkos besar. Risikonya terlalu tinggi. Begitu analisis politik Verijsel soal situasi Jawa saat itu.
Dia justru menyimpulkan langkah terbaik bagi VOC adalah mengajak kompromi Paku Buwono II. Kerajaan Mataram ditarik menjadi mitra koalisi. Harus dilepaskan dari aliansi dengan Tionghoa. Mataram harus diajak berperang membantu Kompeni. Laskar Tionghoa diposisikan sebagai musuh bersama.
Penguasa VOC di Semarang ini juga memutuskan perang dengan Mataram tidak dapat dilanjutkan. Kerugian yang ditanggung kongsi dagang Belanda itu bakal semakin besar. Jalan menuju rekonsiliasi akhirnya ditempuh. Verijsel akhirnya menemui Patih Notokusumo pada 26 November 1741. Pertemuan dilakukan sebagai penjajagan terhadap kemauan kedua pihak. Khususnya menyangkut penyelesaian atas konflik yang terjadi.
Bertemu dengan Notokusumo sebenarnya Verijsel melawan instruksi bosnya di Batavia. Dia telah mendapatkan perintah menangkap patih Mataram itu. Notokusumo dianggap sebagai tokoh radikal. Dia berada di garis depan mendukung koalisi Mataram-Tionghoa menggempur benteng VOC di Kartasura maupun Batavia.
Batavia telah menyediakan dana 5000 real untuk menangkap Notokusumo. Namun Verijsel tidak ingin melakukan itu. Dia ingin melihat perkembangan politik yang terjadi Mataram lebih dulu. Komisaris VOC di Semarang itu tengah mencermati situasi di Kartasura pascapertemuannya dengan Notokusumo.
Belakangan, Mataram bersedia melepaskan diri dari orang-orang Tionghoa. Patih Notokusumo telah mendapatkan instruksi agar pasukan Mataram berbalik arah. Membantu VOC dan memerangi laskar Tionghoa. Kini posisi Mataram berubah. Dari sekutu politik Tionghoa menjadi seteru. Keputusan politik itu justru membuat situasi tambah tidak menentu. (*kus/fj)