INDONESIA seharusnya merupakan ekosistem yang sangat sehat untuk menyemai keragaman. Hal tersebut dibuktikan dengan semboyan bangsa ini yang berbunyi Bhinneka Tunggal Ika, yang bermakna meskipun beranekaragam tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Adalah sebuah fakta apabila Indonesia terdiri dari beragam suku, ras, agama, dan golongan.
Namun, belum lama ini bangsa ini kembali diuji dengan narasi SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) yang dilontarkan oleh segelintir orang tidak bertanggungjawab. SARA ini sendiri merupakan pandangan ataupun tindakan yang dilandasi sentimen mengenai identitas orang lain yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Narasi tersebut sudah tentu mengancam integrasi bangsa, namun sepertinya sebagian pihak lebih menggemari narasi ini ketimbang narasi yang lain terutama di media social (medsos).
Politik Identitas
Menguatnya narasi SARA ini tentu tidak bisa dilepaskan dari aktivitas politik identitas yang kerap memanfaatkan narasi SARA sebagai alat untuk meraih kuasa. Sudah tidak terhitung oknum-oknum politisi yang dengan sengaja menjadikan SARA sebagai bahan bakar kampanyenya. Praktik politik yang keji ini tentu tidak hanya memproduksi para pemimpin dan pejabat publik yang tidak profesional, tetapi juga sangat mengancam integritas bangsa.
Narasi SARA ini seperti tidak ada habisnya mengisi ruang maya, ruang yang notabene kini lebih sering dikunjungi ketimbang ruang nyata. Dalam forum yang nyaris tidak memiliki kontrol tersebut, semua pihak bisa mengeluarkan argumennya yang tidak jarang justru menyulut perdebatan. Semua pihak ingin didengar dan membuktikan kebenaran menurut pandangan pribadinya. Sikap yang demikian membuktikan bahwa banyak pihak yang sebenarnya belum layak memegang akun medsos.
Medsos, tidak sekadar media komunikasi maya yang bebas norma. Saat ini medsos merupakan ruang publik yang tidak bisa digunakan dengan sembarangan. Ada seperangkat aturan baik tertulis ataupun tidak yang harus diikuti di dalamnya. Namun sayangnya, saat ini kebanyakan orang memahami bermedsos hanya sebatas aktivitas mencari hiburan semata. Padahal, bermedsos dan bermasyarakat ialah tidak ada bedanya, melekat tanggungjawab pada setiap individu di dalamnya.
Yang lebih ironis adalah tidak jarang bahwa narasi SARA yang tersebar di medsos ialah rekayasa semata. Akan tetapi karena keteledoran beberapa pihak yang malas melakukan konfirmasi menjadikan keadaan lebih keruh. Minimnya proses konfirmasi ini menunjukkan bahwa sebagian pihak kerap menilai suatu isu secara tergesa-gesa. Ketergesa-gesaan tersebut ternyata lambat laun dapat mengancam integritas bangsa.
Narasi SARA yang sengaja diproduksi oleh oknum tidak bertanggungjawab biasanya melibatkan para buzzer yang ditugaskan untuk menggiring opini publik. Justifikasi yang dilakukan secara tergesa-gesa justru memuluskan langkah para buzzer yang sengaja memainkan isu SARA untuk kepentingan pribadinya, yang tidak jauh-jauh dari urusan politik. Integritas bangsa ialah harga yang terlalu mahal untuk dipertaruhkan dalam percaturan politik praktis. Untuk itu narasi SARA ini haruslah dilawan oleh segenap pihak, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.
Sebuah Paradoks
Meskipun proyek pemecah-belahan bangsa tersebut memiliki sumber daya yang luar biasa banyak, Indonesia jelas lebih besar daripada itu. Narasi SARA tersebut sebenarnya bisa antisipasi dengan murah dan mudah, yaitu dengan satu rasa. Rasa yang dimaksud adalah empati, yang berarti memahami perbedaan yang ada sebagai sebuah keniscayaan, bukan mempertentangkannya. Bermedsos dengan rasa ialah salah satu kontribusi besar dari warganet untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dari isu yang memecah-belah. Ada beberapa rasa yang harus dimiliki warganet sebelum bermedsos.
Pertama, rasa sabar untuk menahan diri tidak melakukan justifikasi sebelum mengetahui kebenaran yang hakiki. Sikap yang demikian ini biasanya diikuti oleh kehati-hatian dalam bertutur dan bertindak. Medsos sebagaimana yang diketahui sebelumnya ialah ruang maya yang nyaris bebas dari proses moderasi. Artinya sikap kehati-hatian untuk tidak mudah percaya dan menyebarluaskan ialah yang perlu dipegang dalam bermedsos.
Kedua, rasa sabar untuk menahan diri tidak melibatkan emosi dalam mengutarakan pendapat di medsos. Apabila memang benar terdapat isu SARA dalam medsos, maka sebisa mungkin warganet menahan diri untuk tidak terjebak dalam kebencian yang sama. Medsos sebagaimana yang diketahui ialah ruang publik baru bagi masyarakat modern memiliki fitur yang melibatkan penggunanya untuk turut mengawasi isu-isu yang tengah berkembang di dalamnya. Publik bisa melakukan pelaporan apabila ada konten yang dirasa memicu sentimen SARA.
Mengetahui Indonesia bhinneka akan tetapi menolak keragaman ialah sebuah paradoks. Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mengatakan bahwa keragaman bukan hanya realita semata, akan tetapi juga merupakan sebuah rahmat. Belajar dari pesan Gus Dur tersebut, Bhinneka Tunggal Ika harus diaktualisasikan tidak hanya dalam mulut, tetapi juga dalam tindakan. Bermedsos dengan rasa, tanpa melibatkan isu SARA ialah langkah yang bisa ditempuh warganet untuk tetap menjaga persatuan bangsa. (ila)
*Penulis merupakan dosen Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta.