RADAR JOGJA – Kemandirian warga Kampung Pitu yang terletak di Puncak Gunung Api Purba Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul, sudah ada sejak dulu. Kampung yang hanya dihuni tujuh kepala keluarga (KK) ini memiliki beragam cerita heroik terkait perjuangan penduduk bertahan hidup.
Dalam bahasa Jawa, pitu berarti tujuh. Dinamakan demikian karena selama ini kampung tersebut hanya ”bisa” dihuni tujuh keluarga. Meski, sejatinya, tak ada aturan yang mengharuskan kampung tersebut hanya boleh dihuni tujuh kepala keluarga.
Namun, ada anggapan penghuni kampung itu memang tidak boleh lebih dari tujuh kepala keluarga. Jika dilanggar bakal muncul masalah.
Secara geografis, Kampung Pitu berada di wilayah Padukuhan Nglanggeran Wetan RT 9. Berada di sisi timur puncak Gunung Api Purba. Masuk wilayah Kecamatan Patuk.
Kampung tersebut bisa dijangkau dari pusat Kota Jogja dalam waktu antara 45 sampai 60 menit. Sekilas, Kampung Pitu terungkap dari sejarah lisan penghuni kampung. Karena itu, tak ada pihak yang tahu secara pasti kapan persisnya kampung tersebut mulai dihuni.
Jika didasarkan usia juru kunci Kampung Pitu, Redjo Dimulyo, usianya mencapai 102 tahun. Itu artinya kampung tersebut bisa dipastikan berumur ratusan tahun.
Redjo Dimulyo merupakan warga tertua Kampung Pitu. Dia merupakan cicit dari Eyang Iro Kromo, pemenang sayembara yang diadakan diadakan Keraton Jogjakarta untuk menjaga pusaka bernama Pohon Kinah Gadung Wulung yang ditemukan di puncak Gunung Api Purba Nglanggeran.
Warga Kampung Pitu memiliki kemampuan bertahan hidup di atas gunung. Mereka mampu tinggal di kawasan perbukitan yang di kelilingi hutan. Jarak antarrumah warga sekitar dua ratus hingga lima ratus meter.
Sedangkan sekolah dan puskesmas terdekat berada di jantung Desa Nglanggeran. Butuh waktu antara 10 hingga 20 menit untuk menjangkunya. Tapi, itu menggunakan kendaraan roda dua.
”Mangga pinarak mlebet (Silakan masuk),” kata Redjo Dimulyo menyambut Radar Jogja yang berkunjung ke rumahnya Jumat siang (13/9).
Sat itu, Redjo berada di rumah sendirian. Dia memiliki sepuluh anak.
Beberapa saat kemudian, anaknya ragil atau anak terakhir datang. Namanya Surono.
”Sak niki jumlah 7 KK, 31 jiwa. Sedaya tasih sederek (Semua masih kerabat),” ucapnya.
Suara Redjo masih terdengar jelas. Namun, pendengarannya sedikit terganggu. Dia lancar menjelaskan kondisi Kampung Pitu.
Profesi warga di kampung tersebut beragam. Sebagian bertani. Ada pula yang bekerja di luar kampung.
Ada pula warga yang berprofesi sebagai pembuat arang dari kayu. ”Nika pada ngareng kangge nyukupi kebutuhan (Itu sedang membuat arang untuk mencukupi kebutuhan),” kata dia.
Meski tinggal di pucuk gunung, keluarga di Kampung Pitu rata-rata memiliki alat transportasi. Ada yang memiliki mobil atau roda dua. Kuda besi dipergunakan untuk kegiatan keseharian seperti mengantar anak ke sekolah. (gun/amd)