RADAR JOGJA – Memiliki syarat sebagai seorang maestro di bidang lawak, Basiyo tidak mudah digantikan. Tidak lagi seorang yang cerdas, Basiyo adalah seorang yang sangat jenius di bidangnya.

Dosen Pendidikan Bahasa Jawa UNY Suwarna Dwijonagoro menuturkan, Basiyo adalah seorang pengamat realita sosial dan kultural, yang kemudian secara kritis mampu ditransformasikan dalam lawakan di atas panggung. Dengan nilai tambah yang tidak menyinggung, menggunakan metaforis yang indah, etis dan penuh etika. “Namun tidak lepas dari kritik sosial,” jelas Suwarna yang juga anggota Dewan Kebudayaan Sleman, Sabtu (21/9).

Basiyo adalah sosok yang hanya menampilkan lawakan kelas-kelas dari masyarakat biasa. Namun lawakan yang out of the box yang dimiliki Basiyo mampu melepaskannya dari batasan ruang dan waktu. Pada masanya, Basiyo sangat inovatif dengan hanya menyajikan lawakan dari representasi masalah sosial.

Mengomunikasikan suatu permasalahan, tambah Suwarna, dalam bentuk lawakan bukanlah hal yang mudah. Artinya, tidak semua orang bisa melawak. Apalagi mengolaborasikan. Namun, pada diri Basiyo, ia mampu mengekspresikan lawakan yang tidak akan terbaca oleh pendengar maupun penontonnya. Yang membuat lawakan Basiyo memiliki ciri tersendiri dan keluar dari kondisi lawakan pada umumnya. “Baik dilakukan monolog atau kolaborasi dengan temannya,” tambahnya.

Istilah stand up comedy dalam bahasa Jawa adalah sastro muni yang memang sudah ada sejak lama. Dengan kemasan lawakan yang dikolaborasikan dengan gamelan seperti Basiyo, tentu tidak ada yang bisa menandingi pada zamannya.

Hanya saja, tambah Suwarna, pelawak memang memiliki masa kejayaan di setiap zamannya. Tidak bisa setiap pelawak dibanding-bandingkan. Karena ada faktor internal dan eksternal yang berbeda pada setiap masa.

Suwarna menuturkan, Basiyo bisa terkenal dan melegenda bukan hanya karena lawakannya. Namun di masa itu, hiburan memang sangat minim. Dan dapat dipastikan, saat masa Basiyo menggelar sebuah pentas, akan sangat bergema dan menggelora.

Berbeda dengan masa sekarang. Bukan berarti lawakan menjadi kalah, namun karena banyaknya pilihan hiburan membuat masyarakat akan memilih. Meskipun tidak bisa dipungkiri, melawak atau ndagel memang bukan suatu hal yang mudah.

Oleh karena itu, jika memang anak muda ingin menekuni hal tersebut, mereka haruslah cerdas. Seperti halnya menggunakan media publik dengan menampilkan performansi yang berbeda. “Dengan short story yang lucu,” katanya.

Kompetisi yang diadakan oleh pihak pemerintahan maupun swasta, adalah salah satu media untuk memunculkan bakat-bakat lawak yang ada di masyarakat. Dan di satu sisi, memang untuk mengenang kejayaan lawakan di masa dulu.

Saat disinggung kenangan akan lawakan Basiyo, Suwarna mengaku masih mendengarkan lawakan khas Basiyo. Meskipun setiap hari didengarkan saat berkendara, Suwarna tidak pernah merasa bosan. Tidak hanya mendengarkan dalam format MP3, ia juga selalu mendengarkan melalui siaran radio lokal. “Yang memang di jam-jam tertentu masih ada radio yang memutar,” ungkapnya.

Basiyo dulu sangatlah populer. Hanya saja, usai tutup usia dia hanya dikenal melalui karya yang direkamnya. Baik berupa suara, atau dari pentas yang dilakukannya. Sedangkan untuk keseharian, Basiyo adalah sosok yang sederhana.

Hal inilah yang membuat Triyanto ‘Genthong’ Hapsoro membuat film tentang Basiyo. Bukan hanya sekadar untuk tontonan, Genthong sebagai sutradara film Basiyo Mbarang Kahanan di tahun 2015, ingin memberikan edukasi dan tuntunan tentang keseharian kehidupan Basiyo.

Genthong mulai mengenal Basiyo saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Memiliki seorang kakek yang setiap harinya memutar kaset Basiyo, membuat Genthong juga harus mendengarkan saat berada di rumah. Tak jarang ia kerap disuruh membeli kaset Basiyo saat sang kakek usai mendengarkan judul kaset yang ada.

Sampai tahun 2008, Genthong mulai lagi mendengarkan Basio yang sudah memasuki era digital. “Masih ada dalam bentuk kaset, dan lainnya saya download dalam bentuk MP3,” ingat Genthong saat ditemui di rumahnya, Patehan, Kraton, Sabtu (21/9).

Tidak berjalan mulus, mimpi Genthong untuk membuat film Basiyo mulai dikubur. Sampai akhirnya di tahun 2015, production house miliknya diberi kepercayaan oleh Dinas Kebudayaan DIJ untuk membuat film sejarah. Dengan persiapan kurang lebih enam bulan, Genthong dan timnya berhasil melakukan riset dan menyusun script.

Menjadi salah satu icon Jogja dan tokoh seniman pada masanya, tidaklah mudah mendapatkan dan menentukan pemain yang menjadi Basiyo. Hal ini karena Basiyo yang sudah memiliki suara yang khas dan sudah dikenal oleh khalayak luas.

Film yang tidak sampai berdurasi satu jam  itu hanya ingin menampilkan kesederhanaan seorang Basiyo. Jauh dari kesan selebritis meskipun sudah terkenal, Basiyo adalah sosok yang sangat serius dan dermawan. “Jauh dari kesan pelawak yang menempel pada sosok Basiyo,” ungkap Genthong.

Terungkap dalam film, Basiyo tidak pernah mematok harga saat diundang pentas kethoprak. Meskipun begitu, ia tetap gigih untuk mencari rejeki agar memnuhi kebutuhan keluarganya. Selain itu, sosok Basiyo yang patut dikagumi adalah kepeduliannya terhadap masyarakat sekitar.

Satu pesan yang selalu diingat Genthong saat menggarap film Basiyo. Wong urip kuwi gampang, nganggo gedhek sak lembar wes isa urip. Nek esuk gedhekke dinehke wetan, nek awan disunggi, lan nek sore dinehke kulon. Nek bengi gedhekke digulung, awake dhewe turu nang njerone. Orasah bingung. “Itu yang paling mengena dan saya ingat sampai sekarang,” tambahnya.

Dari film itu Genthong ingin menyampaikan bahwa melalui sosok Basiyo agar bisa belajar menerima. Apa pun yang dimiliki dan diberikan oleh Sang Kuasa, harus diterima dan disyukuri. Sehingga Genthong berharap film yang sudah ada tidak hanya menjadi sebuah tontonan saja. (eno/laz)