RADAR JOGJA – Pertemuan otoritas pajak se-Asia Pasifik, Study Group in Asian Tax Administration and Research (SGATAR) kembali digelar untuk ke-49 kalinya. Kali ini Indonesia tepatnya Jogjakarta menjadi tuan rumah. Dilaksanakan selama tiga hari mulai 23 – 25 Oktober 2019.

Direktur Jenderal Pajak RI Robert Pakpahan akan memimpin diskusi pada Forum Pimpinan Delegasi yang dilakukan secra paralel. Bahasan yang didiskusikan yakni isu-isu perpajakan strategis, di antaranya ekonomi digital, manajemen risiko kepatuhan, kemudahan berusaha, pengembangan SGATAR di masa depan, dan kerangka kerja operasional SGATAR.

Selain itu, Forum Pimpinan Delegasi juga akan membahas reformasi perpajakan yang dilakukan oleh masing-masing yurisdiksi anggota dalam satu tahun terakhir serta respon terhadap dampak disruptif teknologi informasi terhadap kebijakan dan administrasi pajak.

“Kami juga akan berbagi informasi mengenai tax reform di masing-masing negara, sehingga forum ini menjadi forum diskusi, berbagi pengalaman, membantu lah, berkolaborasi dalam meningkatkan pelayanan perpajakan dan pengawasan secara global,” ungkap Robert usai pembukaan, Rabu (23/10) di Hotel Tentrem Jogjakarta.

Selain forum pimpinan delegasi, terdapat 3 kelompok kerja yang akan membahas isu-isu perpajakan aktual. Meliputi analisis transfer pricing, data pembanding, penyelesaian sengketa, pertukaran informasi keuangan, serta simplifikasi administrasi pajak berbasis teknologi informasi dan komunikasi digital (digitalisasi) untuk meningkatkan kepatuhan dan penerimaan pajak.

Robert menyatakan dengan digitalisasi yang marak diterapkan sekarang, hampir tidak ada ada batasan yang jelas atau borderless. Disebutkan, permasalahan berbagai jenis pajak dalam digitalisasi yang muncul misalnya pajak penghasilan yang bermasalah karena batasan antarnegara, menjadi sulit menentukan mendefinisikan berapa profil pajak subjek tersebut.

Selain itu juga PPN yang sedikit berubah karena penyedian barang/jasa tidak selalu dari domestik. Misalnya, masyarakat bisa mengkonsumsi barang jasa di Indonesia sementara penyedianya dari negara lain.

“Perlu didiskusikan cukup pelik, sistemnya masih berevolusi, ada negara yang sudah menjajaki, ada negara yang masih menunggu, adaptasi dan kesepakatan bersama,” tandasnya.

Sementara itu Kepala Kanwil Ditjen Pajak DIJ Dionysius Lucas Hendrawan menambahkan, pihaknya berharap dari pertemuan ini menghasilkan regulasi untuk mengatasi permasalahan tersebut.

“Mereka (pelaku ekonomi digital, Red.) tidak transparan dari sisi profilnya, mudah-mudahan nanti akan bisa diatasi bagaimana ada regulasi. Terutama marketnya yang mewajibkan para tenantnya untuk mengetahui profilnya. Baik yang menggunakan digital economy maupun konvensional, sehingga fairness itu terjadi,” tuturnya.

Acara ini dihadiri anggota SGATAR dari 17 otoritas pajak di wilayah Asia-Pasifik. Yaitu Australia, Kamboja, Republik Rakyat Tiongkok, Hong Kong (Tiongkok), Indonesia, Jepang, Republik Korea, Macau (Tiongkok), Malaysia, Mongolia, Papua Nugini, Filipina, Selandia Baru, Singapura, Taipei Tionghoa, Thailand, dan Vietnam.

Selain ketujuh belas yurisdiksi anggota tersebut, pertemuan tahunan kali ini juga dihadiri oleh 15 peninjau internasional. Di antaranya Asian Development Bank, International Monetary Fund, Organisation for Economic Co-operation and Development, dan World Bank serta tiga peninjau dalam negeri yaitu Badan Kebijakan Fiskal, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, dan Biro Hukum Kementerian Keuangan.

Sejak pertemuan tahunan pertama yang diselenggarakan pada 1971 di Manila, pertemuan tahunan kali ini merupakan kesempatan keenam bagi Indonesia untuk menjadi tuan rumah.

Lima pertemuan tahunan sebelumnya di Indonesia diselenggarakan pada 1972 dan 1980 di Jakarta dan tahun 1989, 1999, dan 2009 di Bali. Untuk pertama kalinya tahun ini digelar di Jogjakarta.

“Karena selama ini hanya (digelar di, Red.) Jakarta-Bali-Jakarta-Bali, semoga bisa memberi keuntungan bagi pemerintah dan masyarakat Jogja,” ujar Lucas. (tif)