RADAR JOGJA – Kericuhan usai laga PSIM Jogja kontra Persis Solo di Stadion Mandala Krida Jogja Senin (21/10) lalu mengundang keprihatinan Guru Besar Sosiolog Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Jogjakarta Farida Hanum. Dia sangat menyayangkan kerusuhan tersebut.
Terlebih, sejumlah pelaku yang ditangkap polisi masih anak-anak. ”Anak-anak yang terlibat dan melakukan kekerasan hanya ingin menunjukkan eksistensi diri dengan sepak bola sebagai medianya,” jelasnya kepada Radar Jogja, Kamis (24/10).
Menurut Farida, kekerasan adalah cara yang dipilih untuk menunjukkan bahwa anak tersebut berani dan memiliki kemampuan. Yang mana, lanjutnya, hal ini akan menjadikan anak tersebut disegani oleh orang lain.
Dalam beraksi, pastilah anak tidak melakukan hal tersebut seorang diri. Bisa jadi dalam pengaruh alkohol atau obat-obatan terlarang sehingga akan menimbulkan keberanian.
Kerusuhan yang dilakukan suporter sepak bola mungkin adalah suatu hal yang mengagetkan bagi beberapa pihak. Namun, hal ini adalah cerminan dari masyarakat Jogja yang sudah mengalami perubahan.
Kemajuan dan semakin ramainya Jogja berdampak pada perubahan sosial. “Dan ini juga banyak ditemukan dengan adanya tawuran pelajar sampai klitih,” jelas Farida.
Farida menambahkan, kesan orang Jogja yang terkenal dengan sikap santunnya masih melekat pada generasi tua. Namun, kesan itu tidak melekat pada generasi muda.
Dia pun mencermati generasi muda yang melakukan kekerasan. Menurutnya, generasi muda yang melakukan kekerasan terkadang berasal dari keluarga, lingkungan, dan pergaulan yang keras.
Farida menekankan, kekerasan yang terjadi pada kegiatan sepak bola adalah sebuah kesempatan dan dimanfaatkan untuk melakukan kekerasan. “Hanya karena sok jagoan saja dan menunjukkan kehebatan. Karena emosi yang meledak-ledak diakibatkan dari berbagai faktor baik lingkungan, keluarga, dan pergaulan” tambahnya.
Menurutnya, ada beberapa terapi yang bisa dilakukan untuk menyadarkan seorang anak. Misalnya, saat anak mendapatkan hukuman maka tidak bisa disamakan dengan orang dewasa.
Saat anak dikenai sanksi hukuman penjara, diharapkan mampu membuat anak tersadar dan jera bahwa perilaku yang diperbuat sia-sia. Itu sesuai terapi yang dilakukan selama berada di penjara. “Di penjara ada psikolog. Dari situ, bisa diurai apa penyebabnya,” tutur Farida.
Saat anak tidak mendapatkan terapi dengan baik, ujarnya, harus diantisipasi saat anak bertemu dengan lingkungan yang sama atau lebih hebat dalam berbuat hal negatif.
Hal ini akan membuat anak kembali mengulangi perbuatannya dan tidak sadar akan penyimpangan yang dilakulannya. “Anak-anak harus dipenjara bukan karena hukuman, namun untuk pembinaan,” tambahnya.
Hasil diagnosis dari terapi menjadi bahan menangani anak dengan permasalahan yang berbeda-beda. Bisa saja anak yang melakukan kekerasan adalah orang yang baru pertama kali dan merasa trauma sesudahnya. Hal ini perlu diperhatikan untuk tidak menyamaratakan penanganan dan hukuman kepada pelaku anak. (eno/amd)