MANUSIA merupakan makhluk sosial yang haus akan informasi. Bagi manusia, informasi ibarat pintu pertama bagi segala aspek kehidupan. Orang yang minim informasiakan cenderung mengalami kesulitan dalam dunia sosial. Karena informasi merupakan bahan dalam berinteraksi sehari-hari.
Informasi bisa didapatkan dari sumber apa pun. Televisi tidak terkecuali.
Televisi bahkan dikatakan sebagai sebuah media yang memudahkan orang untuk mendapatkan informasi yang dimiliki orang lain. Demikian, dapat dikatakan televisi sangat menjunjung tinggi demokrasi yang ideal. Semua lapisan masyarakat dianggap setara dalam mendapatkan informasi bahkan informasi politik sekalipun (Chaffee & Kanihan, 2010).
Perihal politik, televisi umumnya dijadikan salah satu tempat menyalurkan informasi politik terutama tentang voting atau kontestasi politik. Orang-orang yang menyaksikan kontestasi politik dalam televisi pun beragam. Orang-orang tersebut ada yang berpendidikan politik dengan baik dan ada juga yang tertarik dengan informasi politik.
Televisi biasanya memuat informasi politik berupa janji dan retorika politik yang dibungkus dalam berita dan kolom baru. Walau aktor politik tidak dapat menyampaikan informasi politik secara langsung, kesulitan ini bisa diatasi dengan “tangan kedua” yang bernama televisi.
Namun tidak menutup kemungkinan dari berjimbunnya informasi politik yang disediakan oleh televisi, masih terdapat sekelompok masyarakat yang kekurangan dalam mendapatkan informasi politik. Chaffee dan Kanihan (2010) membagi dua kelompok tersebut menjadi dua, yaitu anak muda dan imigran.
Kelompok anak muda merupakan kelompok awam politik yang menonton televisi sebagai wadah informasi politik. Apa yang menjadi tantangan bagi kelompok anak muda adalah bagaimana menumbuh minat baca mereka dalam mengikuti dinamika kontestasi politik. Karena televisi sifatnya sebagai penghubung informasi politik kepada anak muda agar mereka bertumbuh kembang menjadi orang dewasa yang peka terhadap kontestasi politik.
Kelompok kedua yang kekurangan informasi politik adalah kelompok imigran. Kelompok imigran tentu memiliki budaya yang berbeda dengan negara yang sekarang tengah ditempatinya. Sehingga untuk memberikan informasi politik kepada kelompok imigran tentu memerlukan media informasi yang tepat (Martinelli & Chaffee, 1995).
Namun, televisi dapat mengatasi kekurangan informasi politik yang dialami kaum muda dan kaum imigran dengan kelebihannya sendiri, yaitu citra politik. Televisi juga menghadirkan citra kandidat politik yang berguna untuk membantu pemilih dalam memilih kandidat politik. Bahkan kandidat politik yang memiliki citra imaji yang baik dapat terbantu untuk dirinya terpilih karena adanya televisi. Seperti kata (Lenz & Lawson, 2011) bahwa kandidat politik yang tercitra lebih berkompoten dan mempesona kemungkinan besar dirinya memenangkan kontestasi politik sangat tinggi.
Selanjutnya tentu diperlukan pengingatan terhadap pemilih agar menggunakan hak pilihnya untuk menentukan kandidat politik yang diinginkannya. Akan tetapi, keputusan pemilih dalam menentukan kandidat politik yang pantas bagi dirinya bisa saja berubah di detik-detik sebelum pemilihan.
Terdapat dua alasan orang mengganti keputusannya dalam memilih. Alasan pertama, bisa saja orang mengganti rencananya yang awalnya ingin memilih tetapi pada akhirnya membatalkan.
Alasan kedua, pemilih bisa saja mengganti pilihan kandidat politiknya di detik-detik sebelum kontestasi politik berakhir. Misalnya selama kampanye presiden Amerika Serikat pada tahun 1972, Patterson dan McClure (1976) mendapatkan bahwa pemilih yang menonton televisi pada prime-time cenderung mengubah persepsinya terhadap kandidat politik.
Akan tetapi, menurut (Glaser, 1965) televisi memberikan kesan yang kuat dalam mengingatkan pemilih bila dibandingkan degan koran. Pesan yang diberikan oleh televisi malah berpotensi besar untuk pemilih menggunakan hak pilihnya dan tidak golongan putih (golput).
Walau peringatan terhadap pemilih memiliki efek yang terbatas, televisi memiliki pengaruh yang besar bila televisi bisa beradaptasi dengan situasi orang yang bukan pemilih. Bahkan peringatan meningkatkan peluang untuk memilih apabila televisi menargetkan kelompok yang cenderung tidak menggunakan hak pilihnya. Hal tersebut bisa saja terjadi kalau televisi berhasil membuat penontonnya terkesan.
Masifnya penggunaan televisi yang direpresentasikan dengan berita televisi bisa meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kontestasi politik. Seleksi terhadap konten politik juga dapat menaikkan kepercayaan pemilih terhadap hiruk pikuk dan partisipasi politik.
Dengan demikian, dibalik tantangannya televisi sebagai salah satu media penyalur informasi kontestasi politik terhadap masyarakat, televisi dapat mengatasi kekurangan yang dimilikinya dengan citra imaji kandidat politik yang kuat. Fungsi televisi sebagai pengingat pemilihan terhadap pemilih juga berguna mengatasi golput.
Artinya, televisi sebagai alat pembentukan perilaku kontestasi politik sangatlah bermanfaat. Karena televisi dapat membentuk perilaku pemilih yang sadar akan urgensinya kontestasi politik dan bahayanya golput. Kuasa media yang cenderung dipandang sinis, akhirnya memiliki panggung untuk menunjukkan nilai kebermanfaatan dirinya kepada khalayak luas. (ila)
*Penulis merupakan mahasiswa S1 Teknik Fisika UGM 2016.