PERKEMBANGAN terakhir perjalanan kenegaraan dan kebangsaan terusik oleh peristiwa mengejutkan. Insiden penusukan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto, pada 10 Oktober oleh seseorang di Pandeglang menjadi tonggak penting dalam melihat eskalasi iklim politik dan sosial saat ini.
Dari jauh, bisa menduga peristiwa itu dilakukan oleh salah seorang dari kelompok yang tidak bertanggung jawab, katakanlah mereka yang berafiliasi dengan kelompok teroris dan radikal. Beberapa kita mungkin saja bisa bersetuju dengan asumsi awal ini,
Itu bisa diverifikasi dengan berita yang dilansir oleh Koran Jakarta pada 12 Oktober 2019 yang menyatakan bahwa Syahril Alamsyah (pelaku penusukan) mengaku takut, tertekan dan stres sebab ketua Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bekasi, Fazri Pahlawan ditangkap. Surat kabar tersebut menegaskan, ini membuat mereka, dua pasang suami istri memilih melakukan amaliah dengan mengorbankan nyawa untuk agama.
Pernyataan yang sangat teologis dan berada di luar nalar. Dari sini timbul pertanyaan ”bagaimana mungkin sebuah ‘agama’ mensyaratkan pengorbanan nyawa seorang penganutnya?” Agama seperti apa yang mengajarkan perihal demikian? Mengapa hampir segala persoalan oleh beberapa kelompok selalu disangkut-pautkan dengan pengorbanan nyawa?
Dalam tulisan yang berjudul Paradigms in Science and Religion, Ian G. Barbour mengungkap, bahwa kriteria pikiran yang bercorak teologis penganut beragama dalam menjalankan keyakinan salah satunya ialah penekanan terhadap perlunya personal commitment terhadap ajaran yang dipeluk.
Pada konteks komitmen itu, agama menjadi persoalan hidup dan mati. Pemeluk agama tertentu bisa dengan gigih mempertahankan ajaran-ajaran agamanya sehingga rela berkorba, bahkan dengan nyawa sekalipun. Ini tentu sangat berbahaya.
Namun demikian, tidak hanya itu. Melihat satu persoalan tidak cukup menggunakan satu kacamata saja. Kita memerlukan perspektif yang luas dan multi agar tidak terjebak pada cara pandang yang sempit dan kaku.
Perihal lain yang perlu untuk kita lihat sekaligus menjadi fokus kajian saat ini adalah apa yang sebenarnya menjadi pokok latar belakang seseorang melakukan hal tersebut. Sejauh ini, berita yang masif dikabarkan berputar di sekitar terrorisme, dengan tujuan untuk menyebar ketakutan. Cara pandang lain belum banyak disentuh dan dieksplorasi.
CNN Indonesia, pada tanggal 10 Oktober 2019 merilis berita pelaku penusukan adalah korban penggusuran lahan proyek Tol Trans Sumatera. Jika benar demikian, ada pesan penting yang perlu digarisbawahi oleh pemerintah, selain hanya terfokus pada isu seputar afiliasi pelaku dengan kelompok jihadis dan teroris.
Pertama, sebelum melihat lebih jauh, kita perlu asas praduga—meminjam kacamata hukum. Atau kita bisa sebut dengan pra-pendapat menuju upaya melihat berbagai kemungkinan kesimpulan. Cara ini dalam filsafat fenomenologi disebut sebagai “epoche”. Dalam epoche, kita mencoba meletakkan terlebih dahulu segala prasangka. Menunda kesimpulan-kesimpulan sebelum menggalinya langsung dari pelaku.
Pemberitaan yang beredar di media mayoritas mengabarkan faktor dari insiden ini dari kacamata kepolisian. Hal ini perlu didalami lagi, mengingat kita tidak tahu apakah kepolisian menginvestigasi pelaku dalam keadaan normal. Seperti misalnya, bagaimana kepolisian mencoba menguak pokok permasalahan dengan tidak mengintimidasi. Sebab menggali persoalan dengan cara intimidatif akan mereduksi makna implisit insiden tersebut.
Cara pandang demikian bukan tuduhan pada kepolisian bahwa mereka tidak bekerja secara jernih. Sejauh itu dilakukan dalam prosedur manusiawi dan mencoba menggalinya dengan kacamata pelaku itu tidak masalah. Namun pertanyaannya, sudahkah jernih kepolisian dalam menguak masalah ini? Hanya pihak kepolisian yang bisa menjawabnya.
Kedua, kita semua bersetuju bahwa peristiwa tersebut atas nama apapun tidak dapat dibenarkan. Kita menolak hal itu. Entah itu dari sisi kemanusiaan atau pun secara hukum. Tapi melihatnya hanya sebagai gelombang afiliasi pelaku dengan jaringan terorisme dapat menjadi jurang sempit yang memenjarakan kita.
Mahfud MD, dalam acara Dies Natalis HMI ke-70 di Jogjakarta menjelaskan, ”sebenarnya yang harus kita takuti bukanlah terorisme dan radikalisme, melainkan ketidakadilan; ketimpangan ekonomi, politik dan sosial yang akut. Sebab terorisme dan radikalisme bisa muncul dari situ. Dengan pencarian legitimasi terhadap ajaran agama.”
Demikian, tawarannya ialah pembacaan kembali terhadap porsi pengamatan kita. Sudahkah kita jernih melihat pokok persoalannya? Atau jangan-jangan kita hanya mengikuti arus pemberitaan yang juga kadang-kadang timpang. Maka di sini, tugas media massa yang netral dan moderat menjadi penting. Media bisa mengajak kembali masyarakat melihat persoalan secara jernih—tanpa tendensi politis dan apologetik-teologis.
Mengingat, media digital kita saat ini dengan kecepatan jaringan internet, ribuan informasi bisa datang kapan saja. Ini berpengaruh terhadap polarisasi opini masyarakat. Sehingga sampai pada pembentukan sekat-sekat pendukung si A dan pendukung si B.
Yang semestinya, masalahnya bukan di situ. Melainkan, sudah jernikah kita melihat? Kita membutuhkan media massa, khususnya cetak yang berbicara tentang itu. Sebab sumber informasi digital sudah terlalu ramai dan bising. Kita perlu yang jernih yang mampu mengantarkan kita pada pokok persoalan dan solusi konstruktif. (ila)
*Penulis merupakan peneliti di ISAIs (Institute of Southeast Asian Islam) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogjakarta.