Ahmad Tohari akan terus menulis…selama tak ada ciap-ciap anak ayam yang terpisah dari induknya atau tangis anak-anak…

BAYU PUTRA, BANYUMAS, JAWA POS

SURAT pengunduran diri itu dengan hati-hati disampaikan Tohari kepada pimpinannya di Harian Merdeka pada awal 1981. Bukan karena tak betah bekerja sebagai redaktur di sana. Dia mundur semata karena ingin menyelesaikan novel Ronggeng Dukuh Paruk.

Novel Ronggeng Dukuh Paruk berisi pengalaman hidup Tohari yang dikemas dalam bentuk fiksi. Awalnya berbentuk trilogi: Catatan buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Sudah 37 tahun sejak novel tersebut kali pertama diterbitkan. Sampai saat ini masih terus dicetak ulang.

Kala itu Tohari nekat pulang dari Jakarta ke Banyumas naik vespa. ”Kepala saya waktu itu sudah penuh. Ini (novel) harus diselesaikan,” kenangnya.

Sejenak Tohari menyesap kopi yang ada di hadapannya. Di teras rumah peninggalan sang mertua di tepi jalan utama Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, pada Senin (11/11) siang lalu. Rumah itu sudah mundur beberapa meter dan halamannya diisi beraneka flora.

Tohari menyelesaikan novel tersebut dalam kondisi tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan. Namun, saat itu dia hanya memikirkan novelnya. Bukan hal lain. Ibarat bayi dalam kandungan, Ronggeng Dukuh Paruk sudah lewat sembilan bulan. Tidak bisa ditahan. Ia akan lahir. Untung, sang istri Syamsiyah saat itu sudah bekerja sebagai guru honorer.

Secara keseluruhan, trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk selesai dalam waktu satu tahun. Tiap-tiap serinya memerlukan waktu sekitar empat bulan. Novel tersebut kemudian diangkat ke layar lebar oleh sutradara Ifa Isfansyah dengan judul Sang Penari.

Pengalaman memang menjadi sumber inspirasi terbaik Tohari. Di Ronggeng Dukuh Paruk, misalnya, dia memasukkan pengalaman masa kecil. Lahir di kampung yang dikelilingi sawah. Tidak jauh dari kediamannya saat ini. ”Anak-anak gembala, nyabut singkong dimakan langsung, dikencingi dulu, itu pengalaman nyata,” ungkapnya menyebut contoh adegan dalam novel.

Keberpihakan kepada rakyat kecil lewat tulisan tidak hanya muncul di Ronggeng Dukuh Paruk. Pada Bekisar Merah, Tohari menyisipkan pesan penting bagi masyarakat.

Bahwa kita sebenarnya sedang menjajah bangsa sendiri. Buktinya adalah kehidupan penyadap nira sekaligus pembuat gula kelapa di novel tersebut. ”Mereka dibayar terlalu rendah dibanding ongkos produksinya,” ucap dia.

Tohari menyebutkan, karya-karyanya berangkat dari kegelisahan atas apa yang terjadi di tengah masyarakat. Bagi dia, ide tulisan baru bisa muncul bila dirinya sedang gelisah dengan kondisi tertentu. Semua kegelisahan itu adalah buah didikan di pesantren.

Ada sebuah hadis qudsi (hadis yang berasal langsung dari Tuhan) yang begitu mendalam maknanya bagi suami Syamsiyah tersebut. Alkisah, ada seorang penghuni neraka yang menggugat Tuhan. Mengapa dia dimasukkan ke dalam neraka.

”Tuhan menjawab, kamu Aku masukkan ke neraka karena tidak menjenguk ketika Aku sakit,” ucap Tohari mengulangi bunyi hadis itu.

Bagaimana Tuhan bisa sakit? Tuhan menjawab bahwa yang sakit adalah tetangga sang hamba dan dia tidak menjenguknya. Dalam tafsir yang sangat sederhana, bisa diartikan, bila ada tetangga yang sakit, kita harus menjenguk. Entah sakit perut, demam, atau sakit fisik lainnya.

Namun, ada tafsir yang lebih komprehensif. Sakit itu tidak melulu diartikan secara harfiah. ”Tetanggamu yang sakit bisa sakit sosial, sakit ekonomi, sakit politik, tersia-siakan, atau menjadi pengangguran bertahun-tahun,” lanjutnya.

Dalam kondisi sakit itulah para hamba Tuhan yang menjadi tetangganya tidak menjenguknya. Dalam arti tidak peduli akan kondisinya. ”Tuhan mewakilkan eksistensinya pada tetanggamu yang sakit,” imbuh pria yang sepanjang obrolan tampak ekspresif itu.

Ada satu cerpen berjudul Mas Mantri Menjenguk Tuhan. Saat Idul Fitri, Mas Mantri tidak ikut ke lapangan untuk salat. Dia merasa lebih wajib menunggui tetangganya yang sakit. Sebab, bagi dia, di situlah Tuhan hadir. Bukan di tempat salat Id.

Dalam menulis cerpen atau novel, Tohari tidak terlalu memerlukan suasana yang sunyi. Hanya ada dua jenis suara yang bisa mengganggu konsentrasinya kala menulis. Pertama adalah suara ciap-ciap anak ayam yang terpisah dari induknya. Satu lagi adalah suara tangisan anak-anak. Siapa pun itu. Baik anak sendiri maupun anak tetangga.

Sore menjelang, Jawa Pos bersiap pamitan setelah sejak pagi mengikuti Tohari. Sastrawan senior itu pun mengungkapkan harapan agar pemerintah lebih perhatian pada kesejahteraan sastrawan. ”Agar generasi kita makin tertarik menjadi sastrawan,” tuturnya. (jpc/riz)