Yowdi Santiar adalah salah satu contoh betapa seniman muda Indonesia bisa bersaing di pentas dunia. Di usia yang masih 24 tahun, pria asal Bandung, Jawa Barat, itu mampu mengalahkan lebih dari seribu ilustrator dari berbagai negara.
DIMAS NUR APRIYANTO, Bandung, Jawa Pos
—
KONTES visual art film Talent House yang kali pertama diikuti Yowdi adalah Annabelle: Comes Home. Yowdi mengunggah tujuh gambar. Tak satu pun nyangkut sebagai juara.
Namun, Yowdi pantang menyerah. Dia kembali mencari kontes visual art.
Ternyata, beberapa waktu setelah Annabelle: Comes Home, ada It: Chapter Two. Kisah petualangan Jaeden Lieberher dkk itu dituangkan ke dalam visual art.
”Syukur, saya menang. Di Spider-Man: Homecoming, kalah. Nah, Terminator: Dark Fate itu kompetisi terakhir saya yang menang,” ujar dia saat ditemui di kediamannya di kawasan Bandung 30 November lalu.
Kontes tersebut dimenangi ilustrator-ilustrator dari lima negara. Yakni, Indonesia, Kroasia, Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris.
”Dari Indonesia cuma satu, hanya saya,” terangnya, bangga.
Yowdi mengangkat konsep vintage untuk Terminator: Dark Fate. Dia senang dengan konsep itu. Sebab, selain menyatukan foto satu dengan lainnya, ada proses kreatif di dalamnya.
”Menggambar foto seseorang, lalu ditempelkan. Kemudian menyatukan dengan beragam warna,” tambahnya.
Poster Terminator: Dark Fate yang dia kumpulkan berukuran 4:3. Visual art-nya tidak sekadar menempel foto, tapi menggambar foto menjadi visual yang nyata. Sebelum membuat visual art, setiap peserta diberi aturan oleh Talent House.
Aturan tersebut berisi banyak hal. Salah satunya, visual art tidak boleh melenceng dari trailer yang dirilis rumah produksi. Yang juga tak kalah penting, karakter utama harus ditampilkan.
Yowdi lantas mengirim dua karya kepada Talent House. Pengiriman karya dan pengumuman pemenang dilakukan melalui e-mail. Dalam kompetisi itu, ada sekitar 1.000 ilustrator dunia yang ikut. Pemenang mendapat hadiah uang tunai USD 2.000 atau sekitar Rp 28 juta (kurs Rp 14.000 per USD).
Talent House memberi waktu 30 hari kepada peserta untuk mengerjakan visual art. Tidak ada batasan jumlah karya yang di-submit.
”Saat Terminator, saya lagi banyak kerjaan. Jadi, ngerjainnya sepuluh hari sebelum deadline pengumpulan,” terang Yowdi.
”Beda sama Annabelle: Comes Home. Saya ngerjain dari setelah pengumuman kompetisi dibuka. Jadi, saya bikin banyak banget visual art. Sampai delapan,” tambahnya.
Saat pembuatan visual art, layouting menjadi tahapan paling sulit. Tidak boleh keliru menempatkan karakter-karakter. Setelah itu, tahap pewarnaan. Bukan hanya urusan warna apa yang akan dipakai, tapi ada pesan di balik warna yang digunakan. Misalnya, mengapa menggunakan warna merah.
Revisi dilakukan hingga enam kali. Mulai pemilihan warna panas di awal seperti merah, kemudian berganti menjadi warna yang lebih dingin.
”Kalau dingin itu lebih warm, soft. Biru atau pastel,” jelas Yowdi.
Proyek pertama Yowdi yang berkaitan dengan ilustrasi visual art adalah kover album band. Saat itu dia masih duduk di kelas II sekolah menengah pertama (SMP). Dia mulai menggambar di kertas HVS (houtvrij schrijfpapier).
”Kover-kover album band metal itu asyik-asyik. Monster begitu. Terus, gelap banget warnanya,” kenang dia.
Rupiah pertama yang didapat Yowdi sebesar Rp 30 ribu. Karyanya yang berupa logo itu dibeli salah satu band metal di Bandung. Harga jasa pembuatan visual art dari tangan dinginnya merangkak naik hingga Rp 250 ribu.
Pesanan terus membanjiri saat Facebook masuk ke Indonesia. Yowdi mengunggah beberapa karyanya ke media sosial besutan Mark Zuckerberg itu.
”Tapi, jujur, saya sampai sekarang belum berani membuka bisnis jasa ilustrasi lebih mendalam. Masih belum tahu bagaimana deal with people, harganya bagaimana,” katanya.
Hasrat Yowdi untuk berkecimpung di dunia visual art sempat ditentang keluarga. Ibunya berharap sang putra bekerja kantoran. Bukan bekerja di rumah dengan menggambar ilustrasi.
Namun, Yowdi bergeming. Dia tahu bahwa passion-nya ada di visual art. Tak bisa diubah. Rasa cintanya terhadap visual art tidak dapat dipaksa menjadi hal lain.
”Dari kecil, senang gambar monster awalnya. Setiap kali selesai menggambar, ada rasa puas tersendiri,” ujarnya. Sekarang, lanjut dia, orang tuanya bisa menerima hobinya. Apalagi setelah Yowdi berhasil mengantongi beberapa penghargaan.
Bagaimana Yowdi bisa menggambar?
Semua dia pelajari secara otodidak. Tidak ada ilmu pasti dari institusi pendidikan. Dia tak menempuh kuliah seni. Meski demikian, dia memiliki banyak teman yang berprofesi sebagai pengajar di institusi pendidikan seni. Beberapa mahasiswa juga datang untuk belajar dan praktik kerja lapangan di tempatnya.
Meski begitu, Yowdi masih menaruh harapan untuk bisa belajar di institusi pendidikan seni.
”Tapi, penginnya saya jualan poster atau jasa visual art di luar sih. Saya pengin gabung Marvel,” katanya. ”Kalau di Indonesia, sepertinya masih kurang diapresiasi begitu,” imbuhnya.
Pekerja seni Naufal Abshar menilai, banyak seniman Indonesia yang sangat luar biasa dan mampu bersaing di level internasional. Sayang, informasi dan publikasi prestasi-prestasi yang membanggakan tersebut kurang didengar.
”Pada dunia seni rupa kontemporer itu, seniman Indonesia sangatlah diakui dan mendapat acknowledgement yang luar biasa, terutama pada level Asia dan Southeast Asia,” terangnya.
Lulusan LaSalle College of the Arts dan Goldsmith University di London itu berharap ada regenerasi seniman yang mempunyai semangat. Tentu dengan karya yang luar biasa. Sehingga, lanjut dia, dapat memajukan seni rupa Indonesia ke depan. (jpc/riz)