SELAMA 25 November hingga 10 Desember telah diperingati 16 hari anti-kekerasan terhadap perempuan. Kampanye internasional dengan tagar #MeeToo menjadi upaya untuk mendorong penghapusan kekerasan seksual.
Data yang ada di Indonesia, kasus kekerasan seksual semakin meningkat setiap tahun. Pada 2018, jumlah kekerasan seksual mencapai 406.178. Jumlah ini meningkat 14% dibandingkan tahun sebelumnya.
Membekas dalam ingatan dengan kasus Eno yang diperkosa kemudian dibunuh secara keji. Ada pula seorang siswi SMP yang diperkosa oleh 14 remaja dan pemuda hingga kasus Agni seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi ternama DIJ yang mendapatkan pelecehan seksual dari teman KKN (Kuliah Kerja Nyata).
Tentunya kasus-kasus di atas sangat mencederai nilai dan martabat kemanusiaan. Namun, seringkali kasus kekerasan seksual lebih dianggap sebagai perbuatan yang melanggar moral dibandingkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Padahal, dampak yang dirasakan korban sangatlah besar mulai dari perasaan negatif terhadap diri sendiri, depresi hingga keinginan untuk bunuh diri. Selain itu korban juga seringkali mendapatkan stigma dari masyarakat sebagai seorang yang “tidak suci lagi” lantaran perkosaan yang menimpa dirinya.
Faktanya, sebagian besar korban kekerasan seksual adalah perempuan. Hal ini menjadi dasar bahwa kekerasan seksual adalah kekerasan berbasis gender. Akar dari kekerasan seksual terhadap perempuan, di antaranya budaya patriarki dan perbedaan peran gender (Moletsane, 2017). Nilai-nilai yang disosialisasikan sejak kecil dalam budaya patriarki menjadi belief. Laki-laki cenderung menampilkan diri sebagai seseorang yang kuat dan mendominasi. Sedangkan perempuan menampilkan diri sebagai seorang yang penurut dan bersikap lemah lembut. Belief ini menjadi dasar yang mendorong perbuatan mendominasi kepada jenis kelamin lain, termasuk dalam hal kekerasan seksual.
Kedua, relasi kuasa (Rohmaniyah, 2017). Sebagian besar kasus kekerasan seksual terjadi karena ketimpangan relasi, misalnya, seorang ayah kepada anak, dosen kepada mahasiswa, dan sebagainya. ketimpangan relasi menyebabkan seseorang merasa berhak untuk melakukan perbuatan tersebut kepada orang lain, dan korban seringkali merasa tidak berdaya dan tidak berani untuk menolak dan melawan.
Ketiga, kurangnya pendidikan seksual. Di Indonesia, pendidikan seksual masih dianggap sebagai hal yang tabu. Tidak adanya pendidikan seksual mengakibatkan sebagian besar anak dan remaja tidak memahami mengenai tubuh dan konsekuensi dari perilaku seksualnya.
Keempat, Pornografi. Menurut Dr Mark, kecanduan pornografi dapat menyebabkan kerusakan otak terutama dibagian prefrontal cortex—bagian penting dalam proses pengendalian diri dan pengambilan keputusan (Immawati, 2018). Kerusakan ini dapat mengakibatkan seseorang kehilangan kontrol atas dirinya dan melakukan hal-hal tidak manusiawi, termasuk melakukan kekerasan seksual terhadap orang disekitarnya.
Dari beberapa hal akar kekerasan seksual tersebut, tentunya diperlukan upaya dan kerjasama untuk menangani kejahatan terhadap kemanusiaan ini. Selain masyarakat luas dan Negara, unit yang paling berperan adalah keluarga. Dalam mengatasi masalah kekerasan seksual, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, mendidik anak dengan nilai kesetaraan gender. Anak akan memiliki perspektif gender dan mampu untuk menghargai orang lain sebagai seorang manusia. Kedua, memberikan kasih sayang dan membangun komunikasi yang baik. Pemenuhan kebutuhan kasih sayang akan membentuk anak menjadi pribadi yang penyayang, penuh percaya diri dan terbuka terhadap orang tuanya. Hal ini sebagai pencegahan terhadap kekerasan seksual sejak dini. Ketiga, pendidikan seksual. Dengan ini anak dan remaja memiliki pemahaman mengenai seksualitas sesuai dengan tahap perkembangannya sehingga anak tidak menjadi korban maupun pelaku dikemudian hari.
Kita sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat luas, perlu untuk memperhatikan nilai-nilai tersebut agar tercipta kehidupan yang aman dan saling menghargai sebagai sesama manusia. Upaya penghapusan kekerasan seksual yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan ini harus ditangani dari akarnya dan dimulai dari diri kita sendiri. (ila)
*Penulis merupakan mahasiswa Psikologi UIN Sunan Kalijaga.