MAHASISWA? Yah! Mahasiswa adalah salah satu “maha” yang nyata di dunia ini, disamping Mahameru sebagai puncak gunung tertinggi di dataran pulau Jawa dan Tuhan yang Maha Esa sebagai pencipta alam semesta.

Menjadi mahasiswa tentunya sebuah kebanggaan tersendiri, karena hampir sebagian orang tidak bisa mengenyam pendidikan yang sudah dikomersilkan ini. Ibarat Mahameru sebagai puncak gunung tertinggi di Jawa, maka menjadi mahasiswa pun demikian. Artinya sebagai seorang akademisi, ada satu tanggung jawab tertinggi yang diemban dengan status ke-Maha-an kita.

Mahasiswa dituntut sebagai seorang pembaharu peradaban sosial dalam skala besar, dan dalam skala kecil. Dituntut pula punya kontribusi nyata dalam perubahan lingkungan sekitar. Kemudian berbicara tentang mahasiswa maka tidak pernah luput perihal persoalan politik kampus.

Politik dalam kampus seringkali diibaratkan juga sebagai miniature dari sebuah perpolitikan dalam lingkup negara. Yang berbeda adalah yang mengisi dan menjadi pemeran dalam perpolitikan kampus tersebut tentu mahasiswa itu sendiri. Sama halnya dengan perpolitikan negara, tentunya kita perlu suatu sistem pemerintahan yang mengatur perpolitikan itu sendiri. Dalam membentuk pemerintahan mahasiswa, digunakan beberapa cara salah satunya adalah dengan sistem demokrasi yang kemudian dijalankan melalui pemilu.

Istilah pemilu mahasiswa atau yang dibeberapa kampus disebut dengan istilah pemira (pemilihan mahasiswa raya) ataupun pemilwa (pemilihan wakil mahasiswa) adalah ajang serta panggung demokrasi dalam ruang lingkup mahasiswa. Sebagai salah satu cara untuk melanjutkan estafet pemerintahan serta mencari pemimpin baru tentu pemilu mahasiswa sama pentingnya dengan pemilu negara. Namun, pertanyaannya bagaimana dinamika demokrasi dalam perpolitikan kampus ala mahasiswa ini?

Dalam konteks kontemporer, demokrasi merupakan suatu sistem sosial serta politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi oleh hukum serta kebiasaan dalam melindungi hak-hak individu warga negara. Dalam demokrasi, terdapat pengakuan terhadap kehendak rakyat yang dijadikan sebagai landasan dalam legitimasi serta kewenangan pemerintahan (kedaulatan rakyat). Kehendak tersebut nantinya akan dituangkan dalam suatu iklim politik terbuka, yaitu dengan melaksanakan pemilihan umum yang diadakan secara bebas dan berkala.

Tiap-tiap warga negara memiliki hak untuk memilih pihak-pihak yang akan memerintah serta juga dapat menurunkan pemerintahan yang sedang berjalan kapanpun mereka mau. Namun ketika kontekskan, realitas yang terjadi dalam demokrasi perpolitikan kampus adalah fenomena sesat pikir. Suatu fenomena yang berbanding terbalik dengan konsep ideal berdemokrasi. Belenggu kepentingan merupakan inti dari Pemilihan wakil mahasiswa. Tiap calon, dari mana pun ia berdiri, tak terlepas oleh beban ideologi yang menyokongnya. Sekalipun terdapat individu yang mempidatokan objektivitas pencalonannya, ia mustahil terlepas dari bayang-bayang netralitas.

Iklim politik kepentingan ini sudah bukan menjadi hal baru lagi. Target mereka jelas, yakni menguasai setiap sektor organisasi, baik di tingkat program studi, fakultas, maupun universitas. Suara para mahasiswa yang memilih mereka untuk menjadi pejabat kampus dilupakan begitu saja setelah mereka terpilih. Yang mereka perjuangkan bukan kedaulatan mahasiswa secara menyeluruh tetapi hanya mengabdi kepada super team yang telah memenangkan mereka. Ini sebuah ironi yang menjijikan sekaligus memuakkan. Hal ini, sudah tidak menjadi rahasia umum lagi jika terdapat sebuah kelompok yang mendominasi dalam jalannya pemerintahan atau kegiatan-kegitan politik dikalangan mahasiswa. Mereka biasanya menjadi mahasiswa elit, dengan mengisi posisi-posisi yang setrategis ditingkat kepengurusan pemerintahan mahasiswa yang merupakan konsekuensi logis dari politik etis.

Ihwal warung kopi, tentunya tidak bisa kita nafikan bahwa sebagai suatu tempat bertukar pikiran sekaligus tempat konsolidasi mahasiswa dalam mengurus persoalan umat. Warung kopi kadang kala juga sebagai tempat deal-dealan politik mahasiswa dalam upaya memenangkan kontestasi pemilwa.

Sekali lagi sihir warung kopi mampu membuktikan bahwa tidak adanya transformasi pikiran mahasiswa yang kritis dan rasional ketika dihadapkan dengan hal-hal politik etis. Mungkin terdengar sedikit kontroversi bagi mahasiswa yang makan dan tidur di warung kopi bahkan menjadikan warung kopi sebagai logosentris yang mampu menghadirkan sebuah diskursus pemikiran dan gerakan sosial. Namun yang perlu mahasiswa sekarang ketahui ialah sebenarnya warung kopi adalah dalang kegagalan pergerakan politik mahasiswa.

Kenapa demikian? Karena di warung kopi terlalu banyak wacana yang dibicarakan setiap seduhan segelas kopi. Bahkan sampai seduhan akhir pun wacana berhala itu tetap dibicarakan oleh para mahasiswa. Tidak ada satu usaha kongkrit yang digagas dalam bentuk blue print untuk sekiranya direalisasikan. Para mahasiswa lupa bahwa perwujudan ide dalam bentuk tindakan nyata itu yang paling penting, sehingga tidak perlu memamerkan kepentingan politis di meja kopi bila tidak direalisasikan. Socrates pernah berkata bahwa “hidup yang tidak direfleksikan tidak layak dikatakan hidup” maka bagaimana bisa direfleksikan jika minim tindakan, banyak wacana dan syarat kepentingan politis golongan. Akhirnya mahasiswa tidak sadar bahwa watak kapitalis ala borjuasi kecil sudah mereka perbiasakan di warung kopi karena hanya membahas hal-hal politis golongan bukan kedaulatan rakyat secara menyeluruh. (ila)