RADAR JOGJA – Fokus pemanfaatan Dana Keistimewaan tahun anggaran 2020 mulai bergeser dari tahun-tahun sebelumnya. Kepala Dinas Kebudayaan (Disbud) DIJ Aris Eko Nugroho menyatakan akan lebih mengutamakan sektor pembinaan. Tujuannya agar pemanfaatan dana dari pemerintah pusat ini jauh lebih optimal.

Langkah ini diambil berdasarkan evaluasi tahun-tahun sebelumnya. Fokus pada pembinaan bertujuan membekali para pelaku seni budaya. Sehingga turunnya dana keistimewaan tak sekadar sebagai komoditi.

“Untuk (danais) 2020 fokusnya tetap yang sudah berjalan di 2019. Terutama yang belum terselesaikan dan sempurna. Tapi pada tahun ini pola pembinaan lebih ditonjolkan,” jelasnya saat ditemui seusai peluncuran Kalendar Agenda Budaya DIJ di Grand Inna Malioboro Hotel, Jumat (10/1).

Konsep ini juga merangkum beragam kegiatan. Berupa wujud sinergitas antarpemangku kepentingan. Sehingga pembinaan tak berulang dan berbeda. Tujuannya agar proses pendampingan berjalan efektif dan optimal.

Beberapa catatan mengiringi konsep pemanfaatan danais 2020. Salah satunya belum meratanya efek kucuran dana. Itulah mengapa dia berharap agar jajarannya mengubah strategi. Sehingga mampu mewujudkan pemanfaatan danais yang ideal.

“Kami rasakan ada beberapa poin yang nampaknya baru dirasakn oleh sebagian (orang) dan belum merata. Ini sebenarnya hal wajar, karena untuk format memang sepenuhnya sempurna. Kegiatan pemeliharaan dan pengembangan budaya tetap jalan, tapi sementara pembinaan yang jadi utama,” katanya.

Di catatan 2019, sebanyak 340 pegiat seni telah terfasilitasi. Wujudnya berupa pendampingan hingga fasilitas apresiasi karya. Total dana  yang dikucurkan berkisar Rp 10 Miliar hingga Rp 15 Miliar. Sementara untuk 2020, target fasilitasi sebanyak 380 pegiat seni.

“Angka 380 itu minimalnya, kalau kenaikan anggaram sekitar Rp 4 Miliar sampai Rp 5 Miliar dari tahun sebelumnya. Tahun lalu hampir sepenuhnya terserap dan 99 persen kegiatan di Dinas Kebudayaan pakai danais,” ujarnya.

Aris turut memberikan catatan kepada penerima kucuran danais. Tidak semua kelompok atau pegiat seni mau terbuka mengakui bahwa pendanaan kegiatan mereka berasal danais. Beberapa justru tak menyebutkan bahkan mengaku dengan dana pribadi atau sponsor.

Cara ini, lanjutnya, justru menyulitkan pendataan. Terutama oleh pemerintah pusat. Inilah yang menyebabkan adanya anggapan danais tak merata. Aris juga meminta agar penerima danais tidak bermain-main dengan angka anggaran.

“Ini padahal penting untuk keterbukaan aliran danais. Agar masyarakat tahu kemana alirannya. Lalu pemanfaatan juga harus sesuai pagu. Jangan ditambahi atau dikurangi. Misal ada angka Rp 7 juta atau 16 juta, Rp 26 juta itu sudah ada rinciannya. Kadang ini dipahami dengan subjektif,” katanya. (dwi/tif)