RADAR JOGJA – Memanasnya konflik Amerika Serikat (AS) dan Iran pasca serangan terhadap Qasem Soleimani awal Januari lalu, diperkirakan kecil kemungkinannya untuk menjadi perang terbuka. Sebab keduanya saling menarik diri. Hal tersebut dinyatakan pengamat hubungan unternasional UGM Yunizar Adiputera.

Yunizar menjelaskan, Iran menyadari kekuatan militer mereka tidak bisa mengimbangi militer AS. Meski Iran memiliki hubungan baik dengan Rusia dan China, namun kedua negara tersebut tidak akan terlibat lebih jauh. Di sisi lain, masyarakat Amerika pun tidak akan mendukung kebijakan perang Timur Tengah terulang kembali. “Publik Amerika juga tidak menginginkan perang Timur Tegah dan dukungan publik Amerika ke Trump juga tidak kuat,” jelasnya, Selasa (14/1).

Dia pun menyayangkan sikap Presiden AS Donald Trump yang melakukan serangan dengan mengandalkan kekuasannya. Tanpa diplomasi multilateral atau meminta persetujuan kongres Amerika.

“Sulit dibenarkan secara hukum internasional, belum cukup kuat dibangun logikanya seolah dia (Jenderal Qasem) orang jahat sementara dalam hukum internasional, basisnya, harusnya penjahat perang atau teroris,” ujar Yunizar.

Kejadian konflik antara Iran dan AS ini, lanjut Yunizar, menunjukkan gejala besar penyakit internasional bahwa pemimpin AS sekarang mengambil kebijakan secara individu dan cenderung bilateral. Tidak lagi dengan komunikasi multilateral maupun PBB. Dalam kebijakan negara besar, menurutnya diplomasi lewat perundingan multilateral sangat penting dalam penyelesaian konflik. “Sebaiknya saat ini semua negara memastikan penyelesaian secara diplomatik dan multilatetal,” katanya.

Pengamat kebijakan luar negeri dari Fisipol UGM Nur Rachmat Yuliantoro menambahkan, negara seperti Inggris dan Prancis dinilai tidak akan terlibat dalam konflik Iran-AS tersebut. Karena hubungan diplomatik mereka dengan Donald Trump tidak sekuat dengan pemimpin Amerika sebelumnya.

“Di masa Trump, hubungan Amerika dengan Perancis dan Inggris tidak sekuat seperti dulu. Apalagi dengan Jerman terkait munculnya kasus AS menyadap percakapan telepon para pemimpin dunia sehingga mulai memunculkan ketidaksukaan dengan Trump,” tutur Rachmat. (sky/tif)