RADAR JOGJA – Psikolog Ega Asnatasia Maharani menyayangkan aksi bunuh diri yang dilakukan oleh seorang mahasiswa bernama Faizal Hidayah tak bisa tercegah. Padahal pemuda berusia 24 tahun tersebut telah menunjukan tanda-tanda depresi akut. Terbukti dari adanya upaya dan keinginan bunuh diri sebelum-sebelumnya.
Ega, sapaannya, mengakui masyarakat masih memandang sebelah mata kasus bunuh diri. Padahal fenomena ini bisa dicegah dengan pendekatan yang tepat. Salah satunya dengan mendengarkan keluh kesah dan memberikan solusi yang tepat.
“Sebenarnya secara umum para pelaku bunuh diri itu hanya ingin didengarkan. Saat ini crysis center untuk jasa konseling dan pendampingan sudah banyak. Tapi memang belum semuanya ingin bercerita atau mencurahkan isi hatinya,” jelasnya, Jumat (31/1).
Baca juga: Ditemukan Meninggal di Kos, Mahasiswa Depresi Diduga Bunuh Diri
Dalam tahapan ini terjadi konflik personal. Bisa jadi pelaku bunuh diri mengalami trauma berlebih. Saat akan mencurahkan hati justru mendapat perlakuan tak sepantasnya. Alhasil keinginan untuk mengakhiri hidup semakin memuncak dan menguat.
Ega meminta agar masyarakat benar-benar peka. Apabila mengetahui atau mendengar seseorang ingin bunuh diri jangan berdiam diri. Pengabaian ini berimbas semakin kuatnya keinginan bunuh diri. Kehadiran sosok untuk mendengarkan dan menerima sangat dibutuhkan oleh pelaku bunuh diri.
“Artinya ya bukan disalah-salahkan, diberi label kurang bersyukur kurang beriman dan sebagainya. Dengarkan keluh kesahnya, apa masalahnya. Hanya dengan mendengarkan setidaknya bisa mereduksi atau bahkan menghilangkan keinginan untuk bunuh diri,” katanya.
Keinginan bunuh diri bisa muncul karena adanya tekanan. Pelaku, lanjutnya, memiliki pola pikir self positioning. Artinya melihat dirinya memiliki kapasitas apa dan siapa dalam lingkungan. Sementara lingkungan memandang sosok tersebut seperti apa.
“Benturan ini kerap menjadi sumber konflik personal. Kadang timbul kekecawaan dalam diri yang dampak lukanya dalam,” ujarnya.
Budaya menantang untuk bunuh diri juga masih kerap muncul. Saat pelaku sudah mengutarakan keinginan, kerap muncul kalimat selentingan. Ega mencontohkan tantangan untuk membuktikan. Dengan harapan pelaku mengurungkan niatnya untuk bunuh diri.
Cara-cara seperti itu menurutnya sangatlah salah. Alih-alih mengurungkan, niat justru semakin kuat. Dalam tahapan ini, pelaku memiliki pola pandang berbeda. Seperti pandangan negatif dari masyarakat. Dianggap sudah tidak berharga bagi lingkungan.
“Kadang orang sudah ada tanda-tanda bunuh diri malah dipojokkan, dianggap sekedar stres biasa. Ini adalah respon yang keliru karena merasa semakin dipojokan,” katanya.
Terkait maraknya kasus bunuh diri, bisa jadi ada kelainan mental. Wujudnya berupa depresi, bipolar disorder, schizophrenia, bahkan post-traumatic stress disorder (PTSD). Terhadap kasus Faizal, Ega menduga pemuda ini mengalami kelainan mental.
“Kalau dilihat dari kasusnya, ada keinginan untuk bunuh diri bahkan berulang kali. Lalu sudah menyiapkan surat pamit. Artinya kelainan mental mungkin sudah diidap cukup lama. Bisa jadi ada depresi mendalam,” ujarnya. (dwi/tif)