RADAR JOGJA – Menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Jogjakarta bekerjasama dengan komite Independen Sadar Pemilu (KISP) dan Laboratoirum Ilmu Pemerintahan (Lab IP) UMY menggelar diskusi bertajuk ‘Tantangan Demokrasi Dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak’, Sabtu (8/2).
Bertempat di Gedung DPD RI DIJ, diskusi ini mengundang KPU DIJ, Bawaslu DIJ dan Akademisi Ilmu Pemerintahan UMY. Ketua AIPI Bambang Eka Cahya Widodo menjelaskan, tujuannya untuk mencari solusi alternatif memperbaiki beberapa paermasalahan yang kerap ditemui dalam Pilkada DIJ. Misalnya netralisasi aparatur sipil negara, aparatur keamanan, dan stakeholder terkait.
“Diskusi yang dilakukan untuk menghidupkan kembali kajian-kajian terkait politik dan sebagai kontrol kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan urusan politik, tujuannya untuk mencari alternatif agar pemilu di DIJ menjadi lebih baik, independen dan transparan,” jelasnya.
Dia menilai aparat yang seharusnya menjadi penetrak pilkada sering tergoda untuk ikut berpolitik. Terlebih keberpihakan ASN dalam menunggu calon petahana kerap terjadi. Selain itu, persoalan biaya politik yang sangat mahal. Biaya politik yang dikeluarkan para pasangan calon bupati/walikota dikhawatirkan berpotensi negatif pada kepemimpinan berikutnya.
“Dari mahar yang dikeluarkan, calon bupati/walikota cenderung berusaha mengembalikan modal biaya kampanye apabila pasangan calon tersebut menang dalam pilkada,” sambungnya.
Bambang menambahkan, melihat fenomena money politic yang makin berkembang di setiap kontestasi politik, isu politik identitas juga menjadi perhatian. Terutama yang masih terus bergulir pasca mencuatnya kejadian Pilkada DKI yang berdampak pada pemilu 2019. Menurutnya, tantangan demokrasi saat ini cukup berat, bagaimana mengembalikan kepercayaan publik terhadap kualitas demokrasi yang makin buruk. Terlebih pasca kejadian operasi tangkap tangan (OTT) yang melibatkan komisioner KPU RI belum lama ini.
“Jika politik identitas terus terjadi di Pilkada mendatang, maka bisa merapuhkan konstruksi berbangsa dan bernegara,”, tandasnya. (mo1/tif)