RADAR JOGJA – Zahrotunnisa Aulia el Khansa belum genap empat bulan berada di Tiongkok, setelah menerima beasiswa melanjutkan perguruan tinggi di sana, dari kerja sama Dinas Pendidikan DIJ dengan Asosiasi Perguruan Tinggi di Tiongkok. Namun, gadis 19 tahun ini terpaksa harus pulang dulu ke Jogja ketika negeri tirai bambu itu dilanda wabah virus korona.
Di temui di kantor tempat ibunya mengajar, PAUD Terpadu Annisa, Jalan Wonosari, Banguntapan, Bantul, Selasa (11/2) gadis yang akrab disapa El itu duduk di sudut ruangan sambil minum es kopi. Ia bercerita, dalam tahun pertamanya kuliah di Tiongkok, ia masih dalam kelas bahasa. El pun menjadi satu-satunya mahasiswa angkatan 2019 asal DIJ yang kuliah di Jiangsu Vocational College of Agriculture and Forestry.
El berangkat seorang diri ke Tiongkok pada Oktober. Beberapa bulan di sana, ia mengaku senang kerena dapat memanfaatkan waktu luang untuk jalan-jalan. Hingga Januari, ketika Indonesia dan Tiongkok bersitegang terkait perairan Natuna, mulai muncul sebuah wabah. “60 orang meninggal karena penyakit yang tidak diketahui,” ceritanya.
Kejadian itu sempat dijadikan guyonan oleh El dan teman-temannya. “Ini dukun-dukun sudah siap membela NKRI. Tak kira santetnya beneran berhasil,” katanya bergurau.
Setelah itu kabar tentang kematian 60 warga Tiongkok tersebut timbul tenggelam. Baru sekitar tanggal 20-an, pemerintah Tiongkok memberitahukan persebaran virus yang masif. “Virus baru dan belum ditemukan obatnya,” ujarnya.
Mahasiswa di kampus El mulai dilarang beraktivitas di luar kampus sejak 25 Januari. Diimbau pula untuk menggunakan masker serta jangan mendekati kerumunan. El dan teman-temannya akhirnya menghabiskan masa libur winter-nya hanya di dalam asrama. “Kalau mau keluar harus izin. Kalau nggak dapat izin, nggak boleh keluar,” ucap gadis yang menempuh pendidikan di bidang teknologi aplikasi komputer ini.
Peraturan semakin ketat mulai 1 Februari. Mereka yang berada di dalam kampus dipastikan tidak ada yang sakit. Tapi kampus khawatir, mahasiswa yang bepergian akan terjangkit virus korona saat beraktivitas di luar kampus. “Kami nggak boleh keluar. Semua bahan makanan dan kebutuhan dibelikan pihak kampus,” kenang El, di mana pada saat itu ia dan tujuah temannya merasa sangat bosan.
Kejenuhan dirasakan oleh El dan teman-temannya. Tapi ketika mereka ingin keluar kampus, mereka diwajibkan mengenakan masker. Sedangkan masker menjadi barang yang sangat langka. Ada pun dijual dengan harga sekitar Rp 30 ribu per buah.
Sementara itu, Anisatul Ma’rifah, ibunda El dirundung kecemasan. Pemberitaan di berbagai media membuatnya khawatir tentang keadaan sang anak. “Apalagi ada kabar kalau pada 10 Februari penerbangan dari Tiongkok semuanya akan ditutup,” kata Anisa, menimpali.
Anaknya yang mengatakan keadaannya baik-baik saja, kendati dilanda bosan, tetap tidak membuat tenang. Anisa khawatir, anaknya terpapar udara yang membawa virus korona. “Terus kalau dia kena, sopo seng arep ngerawat (kalau terpapar siapa yang akan merawat, Red),” ujarnya.
Kekhawatiran itu membuat Anisa segera ingin memulangkan anaknya dari Tiongkok. Ia tidak mau menyertakan anaknya pulang bersama rombongan WNI melalui Natuna. “Perjuangan itu memulangkan dia. Beli tiket sendiri,” sebut Anisa, sambil mengusap mata.
Kekhawatiran Anisa bertambah, ketika El mengabarkan dirinya kehabisan bahan makan. Sedangkan El tidak diperkenankan keluar kampus. “Aku makan sehari sekali saja,” ungkap El dan disambut nada miris Anisa tentang suruhannya segera pulang ke tanah air.
Ketika cek harga tiket pesawat Tiongkok-Indonesia, Anisa kaget, karena harganya mencapai Rp 13 juta. Ia kemudian memerintahkan El mencari tiket penerbangan dari Tiongkok. “Alhamdullillah ketika cek tiket tanggal 3 Februari harganya kurang dari Rp 2 juta. Padahal hari biasa cuma sekitar Rp 900 ribu,” cerita El.
El berangkat dari kampusnya bersama salah seorang temannya asal Pasuruan, Jatim. Dia sempat kesulitan mencari taksi untuk mengantarkan ke bandara. Ia dan temannya harus lebih dulu berbohong kepada sopir taksi yang ia pesan secara online. Ia memesan taksi untuk mengantarnya ke suatu lokasi, kemudian memohon kepada sang sopir untuk diantar ke Bandara Changzhou Benniu.
Dalam perjalanan, taksi El harus berhenti di pos-pos penjagaan. Kata dia, di tiap pos El, temannya dan sang sopir diperiksa suhu tubuhnya. “Untung saja kami sehat semua,” ucap El dan takjub ketika mengetahu dalam satu pesawat yang ia tumpangi, mayoritas mahasiswa asal Indonesia.
Sesampainya di Indonesia, El diberikan imbauan untuk melakukan karantina mandiri. Sudah seminggu sejak kepulangannya di tanah air, ia tidak mengeluhkan tanda-tanda gejala terjangkit virus korona. Saat ini ia masih menunggu kabar dari wali kelasnya. “Aku nggak boleh cepat-cepat kembali ke Tingkok,” ujar gadis asal Baturetno, Banguntapan, itu.
El memang tengah menjalani masa libur winter-nya. Kata dia, libur akan berakhir 23 Februari. Tapi kemungkinan besar masa liburnya akan diperpanjang. “Masih menunggu kabar kapan boleh ke Tiongkok,” ujarnya. (cr2/laz)