RADAR JOGJA – Dugaan penganiayaan atau bullying dalam dunia pendidikan kembali terjadi di bumi Sembada, Sleman. Berawal dari unggahan tangkapan layar oleh akun Twitter Mummy Nduty. Disebutkan bahwa ada siswa kelas 1 SD yang mendapatkan perlakukan kekerasan fisik dari kakak kelasnya.
Unggahan tersebut menyebutkan sang anak telah dirawat di RS Bethesda. Sebelumnya sang anak sempat dirawat di Klinik Sadewa Babarsari. Selain itu juga disebutkan bahwa alamat orangtua sang anak di kawasan jalan Affandi.
Kepala Bagian Humas dan Marketing RS Bethesda Adhiyatno Priambodo membenarkan adanya kesamaan informasi. Mulai dari alamat pasien, keluhan sakit dan penanganan. Hanya saja dia tak mengetahui secara pasti penyebab sakit.
“Benar ada matching antara cerita di sosial media dan data milik kami. Pertama rujukan dari klinik Sadewa, usia anak sembilan tahun, keluhan sakit dan alamat orangtua. Nama anak inisial SAGH,” jelasnya ditemui di RS Bethesda, Jumat (21/2)
Adhi menceritakan runtutan sebelum anak dirawat di RS Bethesda. Awalnya pasien atas nama inisial SAGH memeriksakan kesehatan sepekan lalu (13/2). Kala itu pasien langsung dirujuk ke instalasi gawat darurat (IGD). Hasil analisa sementara menyebutkan anak mengalami luka dalam. Tepatnya di bagian perut. Sayangnya belum ada rincian pasti terkait detail luka. Termasuk jenis luka dalam atau luka di bagian permukaan tubuh.
“Masuknya 13 Februari pagi atau siang ke IGD. Malamnya langsung jalan operasi. Langsung ditangani dokter spesialis anak dan dokter spesialis bedah anak,” ujarnya.
Pasca tindakan medis, pasien langsung menjalani rawat inap. Hingga saat ini SAGH masih menjalani rawat inap di ruang anak-anak RS Bethesda. Artinya sudah tujuh hari semenjak awal masuk rumah sakit.
Terkait diagnosa, Adhi belum bisa bicara banyak. Ini karena pihaknya belum bertemu langsung dengan dokter yang menangani pasien. Selain itu juga belum berkomunikasi dengan pihak keluarga si anak.
“Kaitannya dengan pasien dirujuk dari klinik Sadewa, apakah memang kritis, itu tetap wewenang dokter yang menangani. Termasuk diagnosa tindakan operasi belum bisa disampaikan,” katanya.
Walau begitu Adhi membenarkan jika rujukan berawal dari tindakan medis yang lebih serius. Tentu atas beberapa pertimbangan. Mulai dari kondisi pasien hingga minimnya fasilitas penunjang di klinik atau fasilitas kesehatan pertama.
“Soal kegawatan ada parameter yang tahu hanya dokter yang menangani. Rujukan normatif bisa jadi karena disana tidak bisa ditangani atau ada situasi dimana rumah sakit sebelumnya tidak bisa menangani,” ujarnya. (dwi/tif)