DI awal 2020, Indonesia dikejutkan dengan peristiwa bunuh yang dilakukan oleh siswa SMP di Ciracas, Jakarta Timur. Kemudian, pada tanggal 31 Januari lalu kita kembali dikejutkan oleh kematian pasangang suami istri di Sintang Kalimantan barat yang diduga melakukan tindakan bunuh diri dengan menenggak racun rumput (Liputan6.com). Pada tanggal yang sama, di Jogjakarta seorang mahasiswa diduga melakukan bunuh diri di kamar kosnya.

Kasus bunuh diri merupakan permasalahan serius yang terjadi secara global. WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) 2016 menunjukkan terdapat 800.000 orang di dunia tewas akibat bunuh diri setiap tahunnya, yang artinya bahwa setiap 40 detik ada satu orang tewas akibat bunuh. Tindakan bunuh diri lebih banyak terjadi di negara dengan penghasilan rendah dan menengah dibandingkan dengan negara dengan penghasilan tinggi.

Bunuh diri menjadi penyebab utama kedua kematian pada usia produktif yaitu 15-29 tahun dengan perhitungan setiap satu jam terdapat satu orang meninggal akibat bunuh diri. Peristiwa bunuh diri ibarat gunung es, masih banyak kasus yang tidak terpublikasikan ke publik. Hal ini dikarenakan bunuh diri masih dianggap sebagai sebuah aib dalam keluarga. Setiap satu orang dewasa yang melakukan bunuh diri, diperkirakan 20 orang lainnya melakukan percobaan bunuh diri. Penyebab seseorang melakukan bunuh diri sangatlah kompleks, beberapa diantaranya yaitu gangguan psikologis, faktor keluarga, kepribadian,  lingkungan sosial hingga media masa.

Pertama, seseorang dengan riwayat gangguan psikologis berat seperti depresi dan skizofrenia memiliki kecenderungan untuk melakukan percobaan bunuh diri. Orang dengan skizofrenia atau yang biasa disebut oleh orang awam sebagai “orang gila” tidak mampu membedakan antara realitas dan khayalan. Oleh karena orang dengan skizofrenia seringkali tidak mengetahui bahwa perilaku yang ia lakukan membahayakan nyawanya.

Disamping itu orang dengan depresi cenderung menarik diri dari lingkungan sosial, tak memiliki keinginan untuk hidup dan merasa sedih sepanjang waktu. Hal-hal seperti ini mendorong seseorang untuk melakukan percobaan bunuh diri hingga beberapa kali. Gangguan psikologis lainnya seperti kecemasan, gangguan kepribadian, gangguan mood dan sebagainya juga dapat sedikit tidak mempengaruhi seseorang untuk melakukan percobaan bunuh diri.

Kedua, faktor keluarga. Keluarga yang tidak harmonis dan bermasalah berdampak pada perkembangan anak hingga ia tumbuh dewasa. Seorang anak seharusnya mendapatkan kasih sayang dan perhatian penuh dari keluarganya, namun pada keluarga yang memiliki pola asuh permisif dan otoriter seorang anak dapat tumbuh menjadi seseorang yang memiliki harga diri rendah, konsep diri buruk, bahkan merasa tidak diharapkan dan tidak dicintai. Kekerasan dan pengabaian juga berdampak buruk pada perkembangannya.

Ketiga, media masa. Pada seseorang yang telah memiliki pikiran bunuh diri atau pernah melakukan percobaan bunuh diri, pemberitaan yang vulgar di media massa dapat mempengaruhi tindakannya untuk melakukan bunuh diri. Seseorang dalam tahapan ini dapat berpikir pendek untuk ikut melakukan tindakan bunuh diri.

Seseorang yang melakukan bunuh diri memiliki keinginan untuk melarikan diri dari stress, ketidaktahanan terhadap masalah yang sedang ia hadapi dan kehancuran dan kekosongan emosional yang ia rasakan. Tidak adanya dukungan dari lingkungan keluarga dan sosial memperburuk hal tersebut. Menurut Linehan & Sherin Bunuh diri merupakan upaya seseorang untuk menyelesaikan masalah ketika ia mengalami stress berat dan merasa tidak memiliki alternatif dalam menyelesaikan kesulitan yang sedang dihadapi sehingga bunuh diri menjadi satu-satunya pilihan yang tersedia.

Terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam upaya menangani kasus ini. Pertama, kita lebih aware terhadap diri sendiri dan orang-orang di sekitar, apakah memiliki risiko-risiko seperti yang telah disebutkan, kemudian berusaha untuk mengakses bantuan, seperti ke psikolog atau psikiater di puskesmas ataupun rumah sakit. Di era teknologi sekarang juga telah banyak disediakan layanan konseling online seperti ibunda.id dan pijar psikologi.

Kedua, peningkatan ketahanan keluarga. Keluarga yang harmonis dan memiliki pola komunikasi yang baik dapat menurunkan risiko seseorang untuk melakukan bunuh diri. Keluarga merupakan support system utama bagi seseorang. Peningkatan ketahanan keluarga salah satunya dapat dilakukan dengan mulai membangun komunikasi yang sehat dengan anggota keluarga. Pola asuh yang demokratis sangat penting untuk membangun hal ini.

Ketiga, sebagai support system, kita dapat menjadi pendengar dan berempati kepada teman atau kelurga yang sedang mengalami suatu peristiwa yang berat baginya. Hal ini dapat membuat seseorang merasa lebih diharapkan dan diterima sehingga mengurangi kecenderungannya untuk menarik diri dari lingkungan sosial. Selain itu, kampanye di media sosial juga cukup efektif untuk meningkatkan kesadaran seseorang tentang tindakan bunuh diri.

Keempat, belajar menerima dan mencintai diri sendiri. kita mungkin sering mengatakan cinta kepada orang yang kita sayangi, namun bisa saja kita lupa untuk mengatakan cinta dan memperlakukan diri kita sebaik kita memperlakukan orang lain dengan baik. Dengan berusaha untuk menerima segala hal yang terjadi pada diri kita, maka kita akan lebih mampu untuk ikhlas kemudian dapat lebih mencintai diri, yang hal ini dapat mencegah kita untuk melakukan upaya bunuh diri. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk lebih menerima dan mencintai diri sendiri, misalnya melalui meditasi, olahraga, beribadah hingga mengikuti komunitas tertentu.

Orang dengan kecenderungan bunuh diri memerlukan pendampingan dan dukungan dari orang-orang disekitarnya. Tindakan bunuh diri merupakan penyebab kematian manusia yang tidak dapat diremehkan, diperlukan upaya dan kerja bersama untuk mencegah tindakan bunuh diri semakin meningkat. Dengan menjadi lebih sadar, kita dapat ikut berperan dalam menyelamatkan kehidupan diri kita sendiri ataupun orang lain di sekitar kita. (ila)

*Penulis merupakan sisten di Applied Psychology Center (APC) UIN Sunan  Kalijaga Jogjakarta dan Mahasiswa Psikologi UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta