RADAR JOGJA – Di tengah mewabahnya penularan Coronavirus Disease -19 (Covid-19), cara meningkatkan imunitas tubuh agar tidak mudah sakit penting dipelajari. Seorang perempuan warga Gunungkidul, Mbah Tugiyem, sudah membuktikan. Meski berusia lebih dari satu abad, mobilitasnya tetap tinggi hingga kini. Apa rahasianya?
Ini pertemuan Radar Jogja ke-3 kepada Mbah Tugi, sapaannya. Perjumpaan dengannya sekarang sangat istimewa. Warga Dusun Kepil, Putat, Patuk, itu masih terlihat energik saat ditemui, Selasa (17/3).
Dia baru pulang dari kebun membawa sebongkok kayu bakar. Dari kejauhan, sang anak, Semi buru-buru menjemputnya dan mengambil alih bongkokan kayu bakar itu.
Menuruni jalan setapak cor blok curam dan menikung, Mbah Tugi nampak jalan kalem. Dengan bantuan tongkat kayu sampailah ke sebuah pondok. Di tempat inilah siang dan malam ia menikmati hidup di usianya yang suah sangat sepuh.
“Nek esuk yo metu golek kayu. Wengi neng ngomah ndelok tipi (kalau pagi ya keluar cari kayu bakar. Malam di rumah nonton televisi),” kata Mbah Tugi, lalu mulai membuka bungkusan.
Menurut Semi, mobilitas ibunya sangat tinggi. Hampir setiap pagi jalan kaki mencari kayu bakar ke lereng bukit. Terkadang keliling dari kampung ke kampung untuk sekadar refreshing. Melihat seorang nenek membawa kayu dan rumput dengan jalan membungkuk, kebanyakan orang tidak tega. Naluri menolong selalu berdatangan untuk mengantar sampai rumah. “Aku trimo mlaku wae, ora popo (saya jalan kaki saja tidak apa-apa),” begitu cara simbah menjawab niat baik orang yang menawarkan pertolongan.
Walau aktivitas Mbah Tugi tinggi, daya tahan tubuhnya terjaga dengan baik. Nyaris tidak pernah berobat ke layanan kesehatan, karena keluhan pusing tuntas cukup dengan balsem. Pernah sakit serius, itu pun akibat kecelakaan. Pergelangan tangan retak, terjatuh saat mencari sambiloto. “Sing penting diokei ngombe banyu putih. Teh yo oleh (yang penting diperbanyak minum air putih. Minuman teh juga ngga apa-apa),” ucapnya.
Lalu makannya bagaimana mbah? Kata dia, menjaga pola makan itu wajib. Simbah membiasakan makan sehari dua kali, pagi dan petang. Istirahat cukup, dan harus bangun pagi-pagi. “Kudune yo gerak awake, mbuh ngopo (seharusnya tubuh banyak gerak, apa pun aktivitsanya),” katanya.
Meski pendengaran dan penglihatan mulai terganggu karena tergerus usia, Mbah Tugi secara umum masih sehat. Bisa diajak komunikasi, bahkan lebih dari itu. Misalnya acap kali mengumbar guyonan kecil di setiap percakapan seharian kemarin.
“Nek dong dewe yo ra mikir opo-opo. Jaman aku enom yo mung neng ngalas, arep mikirke opo (kalau lagi sendiri ya tidak mikir apa-apa. Zaman ketika muda juga hanya ke ladang, apa yang mau dipikirkan),” selorohnya ketika ditanya mikir apa jika sedang sendirian.
Disinggung mengenai virus korona, rupanya Mbah Tugi manggut-manggut. Kata dia, kalau istilah dulu namanya pagebluk. Semacam wabah penyakit menyebabkan rentetan kematian di tahun 1931 wilayah Gunungkidul. Sementara Tupan, sang menantu mencoba membuka kembali memori Mbah Tugi tentang pagebluk.
“Di zaman saya, antara tahun 1962-1964, pagebluk gara-gara tikus dan larang pangan,” katanya.
Dalam satu waktu, kentongan tanda kematian terdengar bersaut-sautan. Situasi demikian mirip dengan kejadian sekarang, hanya beda istilah penyebutan nama penyakit. Kala itu penderita sakit panas dingin kemudian perlahan hilang begitu saja.
“Nek aku yo nganggo godong jarak, kates, dadap serep. (Kalau saya pakai daun jarak, pepaya dan dadap serep sebagai obat),” tambah Mbah Tugi, lantas melanjutkan ritual nyusur alias meracik kinang. (gun/laz/by)