JOGJA – Proses land clearing bakal bandara di Kulonprogo terus menuai hambatan. Yang terbaru, polisi kembali menangkap empat orang aktivis penolak pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Desa Glagah, Temon, itu. Empat orang tersebut dituding sebagai provokator yang menyebabkan pelaksanaan proyek pengosongan lahan calon bandara Selasa (9/1) kembali diwarnai kericuhan.
Gubernur DIJ Hamengku Buwono (HB) X pun turut angkat bicara menyikapi persoalan bandara. HB X meminta Bupati Kulonprogo Hasto Wardoyo lebih masif dalam melakukan pendekatan terhadap warga penolak pembangunan NYIA. HB X meminta Hasto mencari tahu penyebab utama masih adanya warga penolak bandara. Upaya tersebut penting guna mengatasi kericuhan yang selalu terjadi setiap proses land clearing. Menurutnya, adanya penolakan warga terhadap bandara akan berdampak munculnya persoalan baru. “Problemnya kan nanti wilayah itu bising dan poluted. Kalau dia (warga penolak bandara, Red) tinggal di situ bisa tahan tidak,” tuturnya.
Sebagaimana diketahui proses pengosongan lahan bandara terus mengalami penolakan oleh sebagian warga Glagah. Terutama mereka yang menghuni kawasan calon runway NYIA. Mereka berniat mempertahankan lahan pribadi untuk keperluan pertanian. Mereka bahkan tak peduli dengan uang ganti rugi yang diberikan PT Angkasa Pura I selaku pemrakarsa NYIA.
Situasi di kawasan tersebut makin tak kondusif seiring banyaknya aktivis dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di DIJ dan Jawa Tengah yang turut menolak kehadiran petugas proyek land clearing.
HB X tak menampik potensi kericuhan yang selalu terjadi selama proses land clearing. “Sekarang bagaimana biar itu tetap kondusif saja,” katanya.
Melihat persoalan tersebut, HB X pun memberikan solusi. Gubernur meminta bupati Kulonprogo mencarikan tanah kas desa bagi warga terdampak NYIA yang masih ingin menggarap lahan pertanian. Dengan begitu, warga penolak bandara bisa tetap melanjutkan kegiatan bercocok tanam, meski tak lagi mendiami tempat tinggal semula.
HB X mengaku telah menyampaikan usulannya tersebut kepada Hasto Wardoyo. Kendati demikian, pemprov sebagai lembaga yang berwenang memberikan legalias pemanfaatan tanah kas desa masih menunggu langkah dan kebijakan Pemkab Kulonprogo dalam memfasilitasi keinginan warga penolak bandara.
“Bisa nggak gunakan tanah kas desa. Nanti biar pemda (Pemkab Kulonprogo, Red) yang menyewa. Setelah lima tahun biar mereka menyewa sendiri. Saya kan sudah mengambil keputusan itu dulu. Itu tergantung pendekatannya di sana bagimana,” urai gubernur.
Hasto Wardoyo sejatinya tak kurang-kurang dalam upaya mendekati warga penolak bandara. Di sela perayaan malam pergantian tahun 2017-2018 lalu pun Hasto menyempatkan diri menemui mereka.
Di sisi lain, menyikapi penangkapan empat mahasiswa yang dianggap provokator proses land clearing, Hasto justru berharap agar polisi segera melepaskan mereka. Tentu saja setelah aparat melakukan pendataan dan identifikasi. “Ini menjadi kewenangan kepolisian,” katanya kemarin.
Selanjutnya, Hasto berharap para petinggi perguruan tinggi bisa ikut menjelaskan ikhwal pentingnya pembangunan NYIA kepada para aktivis penolak bandara di kampus masing-masing.
Sementara itu, Pimpinan Proyek NYIA PT Angkasa Pura I Sujiastono mengklaim, hari kedua land clearing di Januari 2018 berjalan lancar tanpa kericuhan yang berarti. “Semua persoalan pengamanan, termasuk yang melibatkan aktivis atau mahasiswa kami serahkan kepada tim pengamanan,” ucapnya.
Sedangkan salah seorang aktivis mahasiswa, Heronimus Heron, menolak disebut telah memprovokasi warga. Menurutnya, warga Glagah sendiri yang bertahan melakukan penolakan bandara. Heron menyatakan, keberadaannya bersama aktivis dan relawan lain ditengah-tengah warga sebatas sebagai aksi solidaritas. Juga untuk ikut menjaga lahan warga penolak bandara yang masih memiliki sertifikat hak milik (SHM). “Tetapi kami didorong, dipukul, diseret dan ditangkap,” keluhnya.
Hal itulah yang memicu terjadinya kericuhan. Ini terjadi ketika petugas PT Angkasa Pura I dengan membawa alat-alat berat dikawal aparat mendekati area permukiman warga penolak bandara. Sekitar pukul 11.00 para mahasiswa dan warga menghadang petugas. Adu mulut dan aksi saling dorong dengan aparat pun tak terhindarkan.
Kabagops Polres Kulonprogo Kompol Sudarmawan menegaskan, pihaknya bertindak sesuai prosedur standar operasional dalam pengamanan. Di antaranya, melokalisasi area yang akan dibersihkan. Bukan hanya mengamankan petugas land clearing, melainkan juga warga dan aktivis. Agar mereka tidak terluka akibat tersenggol alat berat atau tertimpa reruntuhan bangunan dan pohon yang tumbang selama proses land clearing.
“Kondisi di lapangan yang tidak kondusif membuat petugas mengambil langkah tegas dengan menangkap empat aktivis penolak bandara yang diduga memprovokasi dan melawan,” klaimnya.
Menurutnya, gejolak yang terjadi dalam proses pembebasan lahan bandara sudah sering terjadi. Itu dinilainya sebagai hal wajar. Dalam menghadapi para aktivis pun dilakukan langkah penanganan secara bertahap. Langkah persuasif telah ditempuh. Ketika mereka melawan, aparat berusaha mendorong mereka agar keluar daeri area land clearing. “Jika mereka tetap nekat bertahan (jongkok atau memberatkan diri, Red) di lapangan dan melawan, maka anggota kami mengangkat mereka untuk dipindahkan ke tempat aman,” katanya.
Selama proses land clearing, lanjut Sudarmawan, keempat orang yang ditangkap kerap berteriak mengompori warga agar untuk menolak pembersihan lahan. Saat ini mereka masih menjalani pemeriksaan di Mapolres Kulonprogo. “Kami belum putuskan tindakan hukum apa yang akan dikenakan pada mereka. Dilepas atau diproses lebih lanjut,” tegasnya.(bhn/tom/mg1)