JOGJA – Rendi tiba-tiba berhenti dan tiduran di atas karpet bercorak zebra cross yang digunakan Direktorat Pembinaan Ketertiban dan Penyuluhan, Direktorat Pembinaan Masyarakat Polda DIJ, di halaman SLB Negeri Pembina Giwangan Jogja, Jumat (12/1). Padahal di belakangnya, teman-temannya sudah antre untuk lewat.

“Ya begitulah, kalau mood-nya sudah hilang, biasanya ngambek,” ujar Kepala SLB Negeri Pembina Jogja Sarwiasih. Setelah dibujuk, akhirnya Rendi mau berdiri dan kembali praktik mengikuti arahan petugas kepolisian. “Jangan lupa sebelum menyebrang jalan, tengok kanan kiri. Kalau jalan di sisi kiri,” pesan petugas.

Menurut Sarwiasih, di sekolahnya ada 233 anak berkebutuhan khusus (ABK), terdiri atas penyandang tunagrahita, tunadaksa, dan autis. Tapi mayoritas muridnya merupakan penyandang tunagrahita sedang atau yang memiliki IQ 50 kebawah. Agar mudah diterima, para siswa butuh praktik langsung. “Kalau hanya lesan, ingatan mereka tidak lama, setelah lima menit bisa lupa,” ujarnya.

Untuk itu pengenalan materi pada para siswa untuk praktik pun tidak cukup sekali. Harus berkali-kali supaya bisa diterima. Termasuk untuk pengenalan berlalu lintas.

Diakuinya, beberapa waktu lalu terdapat siswanya yang tertabrak kendaraan saat menyeberang. “Biasanya anak-anak ini kalau nyeberang langsung lari, tidak tengak-tengok. Maka perlu diajarkan diulang-ulang,” tuturnya.

Menurut Sarwiasih, selain rawan kecelakaan, para ABK tunagrahita juga rawan menjadi korban kekerasan seksual hingga menjadi korban persekusi. Sarwiasih menyebut selain menjadi korban olok-olokan, biasanya mereka juga diminta untuk mengucapkan kata-kata yang tidak pantas.

“Selain butuh perhatian masyarakat, para siswa juga kami bekali pembelajaran perlindungan diri. Mereka kami ajarkan menghindari hal yang tidak pantas,” tuturnya.

Hal senada juga diungkapkan Kepala Sub Direktorat Pembinaan Ketertiban dan Penyuluhan Direktorat Pembinaan Masyarakat Polda DIJ AKBP Sinugwati. Menurutnya, ABK ini termasuk kelompok yang rentan menjadi korban tindak pidana selain kecelakaan.

“Oleh karena itu selalu kita ingatkan supaya jangan mau dipegang, jangan mau dicium atau diajak orang yang tidak dikenal,” tuturnya.

Diakui memberikan pemahaman bagi ABK, khususnya penyandang tunagrahita, butuh usaha lebih. Untuk itu di setiap SLB sudah disiapkan video dan mengajak para siswa praktik langsung. Seperti cara menyeberang jalan atau menggunakan helm saat naik motor.

“Harapannya selain untuk mereka sendiri juga bisa mengingatkan orang tuanya, karena ternyata banyak yang naik motor tanpa helm,” harapnya.

Sinugwati menambahkan, program polisi menyapa ABK sudah dilakukan sejak setahun lalu, sebulan sekali. Menurutnya, setiap jenjang pendidikan, polisi memiliki program, mulai polisi sahabat anak untuk jenjang PAUD dan TK, polisi cilik untuk SD, polisi siswa di SMP, Saka Bhayangkara untuk siswa SMA dan Satuan Mahasiswa Bhayangkara di jenjang pendidikan tinggi.

“Satuan mahasiswa Bhayangkara sudah ada kerja sama dengan enam perguruan tinggi dan itu menjadi yang pertama di Indonesia,” tuturnya. (pra/laz/mg1)