JOGJA – Puluhan massa mengatasnamakan Aliansi Perjuangan Rakyat Tolak Bandara melakukan aksi demo di depan gerbang masuk Gedung DPRD DIJ. Selain menentang pembangunan Bandara New Yogyakarta Internasional Airport (NYIA), mereka juga menuntut segera diusut aksi kekerasan selama proses pengosongan lahan.
Aksi demonstrasi sempat memanas. Massa aksi yang ingin menyampaikan aspirasi, tidak diperkenan masuk, sedangkan pihak keamanan gedung dewan melakukan penggembokan.
Hanya perwakilan dari massa aksi saja yang dapat menemui anggota dewan yang ketika itu tengah mengikuti rapat paripurna.
Merasa kesal, sejumlah massa aksi merangsek ke pintu gerbang. Mereka berusaha mendobrak gerbang. Aparat kepolisian yang melakukan pengamanan, segera menghentikan aksi massa yang tengah berusaha membuka gerbang secara paksa.
Sempat terjadi aksi dorong antara pendemo dan aparat polisi. Koordinator massa aksi serta pimpinan keamanan kepolisian, berupaya menenangkan aksi kedua massa tersebut.
Koordinator aksi Fikri M Faroek melakukan negosiasi dengan aparat kepolisian dan petugas keamanan supaya gerbang dibuka. “Izinkan kami menyampaikan kepada anggota dewan dan gubernur yang tengah rapat di dalam,” kata Fikri kepada aparat kepolisian.
Kasat Intelkam Polresta Jogjakarta Wahyu Dwi Nugroho yang sebelumnya tidak terlibat negosiasi pun akhirnya turut bergabung. Negosiasi serius terjadi antara aparat kepolisian dan pendemo.
Tak berapa lama, pintu gerbang DPRD DIJ dibuka. Dari dalam, Ketua Badan Kehormatan Sukamto mendatangi massa aksi. Sukamto berjanji akan menyampaikan aspirasi yang disampaikan massa aksi kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Sebab menurutnya, pembangunan bandara bukan otoritas dari anggota dewan.
“Itu otoritas pusat, kami siap menampung aspirasi kalian,” katanya dari atas pikap.
Soal dugaan tindak kekerasan selama proses land clearing, Sukamto meminta kepada massa aksi untuk melengkapi bukti laporan yang jelas agar kepolisian mudah melakukan pengusutan. Bahkan, katanya, pihaknya telah berkoordinasi dengan Kapolda DIJ terkait dugaan kekerasan yang dilakukan aparat.
Sementara itu dalam tuntutannya, Farik menilai pembangunan bandara sebagai bentuk perampasan terhadap tanah milik rakyat. Sebab seharusnya, tanah-tanah tersebut dimanfaatkan untuk pertanian, bukan untuk pembangunan bandara.
“Kami sudah lihat tanah-tanah di kota jadi hotel, apakah di Kulonprogo akan mengalami hal serupa” tanyanya. (bhn/ila)