RADARJOGJA.CO.ID – Dosen ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta, Muhammad Suwarsono mengajak umat muslim di Indonesia tidak sekadar memikirkan akhirat saja tapi ikut pula memajukan ekonomi di tanah air. Caranya, setiap umat muslim berdagang atau berwira usaha sama seperti dijaman Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya dahulu.
“Nabi Muhammad SAW itu tidak miskin lho. Siapa yang bilang miskin. Saat itu, saat perang umat islam membutuhkan banyak kuda, peralatan perang seperti baju, dan makanan. Kalau tidak banyak uang, mana bisa beli kuda dan peralatan perang,” kata Suwarsono saat diskusi Bedah Buku ‘Arab, Kuno, dan Islam : Dari Kapitalisme Perdagangan ke Kapitalisme Religius’ karyanya di Kampus IV UAD Jalan Ring Road Selatan Jogja, Sabtu (3/2).
Hadir sebagai pembedah buku yaitu dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Jogjakarta Prof Dr Musa Asy’arie dan dosen Magister PAI UA D, Dr Yoyo Bin H Ardi Tahir.
Bagi Suwarsono, doktrin tentang Nabi Muhammad SAW yang jelang wafat tak mempunyai harta sungguh berlebihan. Menurutnya, kala itu Nabi Muhammad SAW amat sangat kaya. Hanya, kekayaan Baginda Rasulullah dipergunakan untuk perjuangan islam dan umatnya.
“Sebagai orang muslim, kita harus kaya, caranya ya bisa melalui dagang. Kemudian kekayaan yang kita peroleh dari berdagang untuk islam dan umat. Ini lah bedanya ekonomi islam dengan ekonomi barat,” jelas Suwarsono.
Suwarsono menerangkan, latar belakang penulisan buku berawal dari kemunduran perekonomian Amerika Serikat dan kemajuan ekonomi Cina. Ini ditandai dengan adanya krisis yang terjadi di Amerika Serikat. Menurutnya, kemenangan Presiden Donald Trump pada pemilihan umum karena janji politiknya yaitu Make America Great Again. Sedang Cina hanya membutuhkan waktu kurang dari 50 tahun sehingga dapat menciptakan akselerasi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dari perkembangan ekonomi politik ini muncul istilah Chimerica atau dunia akan berada dalam genggaman kekuasan Cina dan Amerika.
“Janji Donald Trump tersebut membuatnya menang dalam pemilihan presiden,” papar pria kelahiran Bojonegoro Jawa Timur ini..
Musa Asy’arie menjelaskan, otentisitas dari buku ini terletak pada jalan tengah yang damai kapitalisme religius. Menurutnya, jalan tengah ekonomi politik adalah model kapitalisme plus keadilan ekonomi, etik, dan melibatkan negara sebagai bentuk kapitalisme religius.
“Apakah religi bisa membingkai kapitalisme? Sehingga dampak buruk kapitalisme seperti mempertajam kesenjangan, ketidakadilan ekonomi, kurangnya pemerataan ekonomi, membela kaum yang lemah dan komitmen pada etika dapat diwujudka?,” jelas Musa.
Rektor UAD, Dr Kasiyarno menerangkan, kapitalisme perdagangan dan religius dapat menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat. Selama ini, kapitalisme perdagangan dan kapitalisme religius masih berjalan sendiri-sendiri. Itu dapat dibuktikan dengan langkah seseorang yang ingin menguasai ekonomi secara perorangan dengan cara mendirikan perusahaan.
Mereka mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi pribadi tanpa mempedulikan lingkungan.
“Kapitalisme sudah merebak di mana-mana. Bahkan Indonesia juga sudah dikuasi kaum kapitalis yang membuat lingkungan menjadi rusak dan kesejahteraan masyarakat rendah,” kata Kasiyarno.
Sementara itu, kapitalisme religius adalah seseorang atau sejumlah orang yang memiliki ilmu agama luas. Namun mereka hanya fokus pada kegiatan keagamaan seperti ibadah dan berdoa untuk kehidupan setelah mati. Mereka tidak mempedulikan lingkungan sehingga keberadaan ahli agama tidak membawa kesejahteraan masyarakat di dunia.
“Jika kapitalisme perdagangan dan kapitalisme religius ini dikolaborasikan maka islam akan mudah menguasai ekonomi dunia dan umat islam akan sejahtera,” papar Kasiyarno. (mar)