PERASAAN Eka sangat terpukul. Ketika itu pada 2002 putri sulungnya yang masih berusia 1,5 tahun didiagnosis mengidap leukemia. Berkat perjuangan dan semangatnya mendampingi perawatan sang buah hati, kini Eka berlega hati. Putrinya yang telah duduk di bangku kuliah telah dinyatakan sembuh.
Perjuangannya memang sangat berat. Terutama saat harus mendampingi putrinya kemoterapi. Eka bahkan selalu memaksa dokter agar diizinkan untuk mendampingi putrinya saat menjalani kemoterapi. “Saya nggak mau ketika disuruh keluar ruang kemoterapi. Saya mau tahu anak saya diapakan,” kenangnya.
Eka menyadari, penyembuhan kanker memang sulit. Namun bukan berarti kanker tidak bisa disembuhkan. Kemoterapi bisa menyebabkan rambut rontok dan gundul. Makanya, orang tua harus sabar mendampingi anak-anak penderita kanker setelah pengobatan. Karena saat itulah mereka kembali mengawali belajar berdiri, merangkak, hingga mengatur emosional yang tidak stabil.”Kuncinya sabar dan telaten,” tutur Eka.
Selama dua tahun pertama pengobatan harus dipastikan berjalan dengan baik. Jika proses pengobatan tidak baik, maka harus dimulai lagi dari awal. Bahkan, saat anak penderita kanker dinyatakan bebas obat, orang tua harus tetap waspada. Sebab, ketika anak bermain lantas terjatuh dan mengalami panas, sel kanker bisa muncul lagi. Proses pengobatan pun harus dimulai lagi dari awal.
Pengalaman itulah yang mendorong Eka membentuk YKAKI Jogja yang berpusat di Plemburan, Ngaglik, Sleman pada 13 Desember 2013. Di lembaga itu Eka mendirikan Rumah Kita dan Sekolah-Ku yang diperuntukkan khusus bagi anak penderita kanker di DIJ dan sekitarnya. Terutama bagi pasien yang sedang menjalani pengobatan di RSUP Dr Sardjito, Jogja.
“Ada kurang lebih 250 anak penderita kanker yang terdaftar di YKAKI Jogja. Dari jumlah tersebut 60 persen meninggal. Sisanya bebas obat dan masih proses pengobatan,” paparnya.
Seiring perkembangan teknologi kedokteran, menurut Eka, persentase tingkat kesembuhan pasien kanker justru menurun. “Dulu waktu anak saya masih 70:30. Sekarang 50:50,” ungkapnya. Dampak pengobatan saat ini, lanjut dia, bisa membuat mata membesar hingga mengeluarkan darah atau jantung mendandung air. Bahkan ada pasien yang hidungnya gripis tinggal separo. “Padahal saat pertama datang (di YKAKI) belum terdiagnosis kanker,” sesalnya.
Menyitir pernyataan dokter, hal itu disebabkan sel kanker yang bermetamorfosis. Juga dikarenakan gaya hidup, pengaruh makanan cepat saji dan soft drink. “Pada zaman anak saya dulu belum seperti itu,” ucapnya.
Makanan cepat saji sangat berbahaya karena mengandung banyak micin, pengawet, dan pewarna kimia. Ibu hamil yang mengosumsi obat atau rokok juga potensial terjangkit kanker. Demikian pula radiasi limbah pabrik dan SUTET. Ada pula yang disebabkan faktor keturunan. “Mungkin dulu orang tua atau simbah kita kena kanker. Tapi mereka tidak tahu kalau itu kanker. Mereka tahunya dulu sakit angin duduk atau apa, namun tiba-tiba meninggal,” ujar Eka.
Soal pengobatan di rumah sakit, Eka tak pernah segan untuk protes kepada dokter yang suka menyebut nominal biaya besar untuk pengobatan kanker anak kepada orang tua pasien. Hal itu akan membuat orang tua pasien lebih merasa tertekan perasaan. Mengenai hal ini, Eka meyakini, saat seseorang butuh biaya besar untuk pengobatan pasti lebih mudah mendapatkan uang dibanding hari-hari biasanya.
Dari pengalamannya itu, Eka berharap tak ada orang tua yang putus asa dengan biaya pengobatan anak penderita kanker. Apalagi jika lantas beralih ke pengobatan alternatif. “Usul saya, semua harus bersyukur, berdoa dan medis. Saya sudah coba alternatif malah makin buruk dan akhirnya terlambat ditangani medis,” ungkapnya. (yog/mg1)