BANTUL- Keraton Jogja secara terbuka mengakui tak memiliki tanah di daerah enclave (daerah kantong) Kasunanan Surakarta di Kabupaten Bantul dan Kadipaten Mangkunegaran di Gunungkidul. Pertimbangannya, berdasarkan sejarahnya daerah enclave bukan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

“Logikanya sangat jelas. Tidak ada tanah kasultanan di daerah enclave,” ungkap Penghageng Tepas Panitikismo Keraton Jogja KGPH Hadiwinoto di Balai Desa Mangunan, Dlingo, Bantul Selasa (17/4).

Gusti Hadi, sapaan akrabnya, datang ke Mangunan dalam rangka mendampingi kunjungan kerja Pansus Pengawasan Perdais DIJ No. 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten yang dibentuk DPRD DIJ.

Penjelasan Gusti Hadi ini klop dengan keterangan anggota Parampara Praja (penasihat gubernur DIJ) Suyitno SH MS. Sebelumnya, Suyitno mengakui, lantaran bukan wilayahnya tanah-tanah desa di daerah enclave asal usulnya bukan dari kasultanan. Dengan demikian, tidak ada tanah-tanah desa yang berstatus Sultanaat Grond (SG).

Dalam pertemuan itu, Gusti Hadi merasa kurang mendalami sejarah tanah enclave. Dia kemudian meminta agar Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (DPTR) DIJ menelusuri sejarah masuknya daerah enclave Kasunanan dan Mangkunegaran ke wilayah DIJ.

Hanya, setahu dia, kasunanan punya wilayah di Kotagede dan Imogiri, Bantul. Sedangkan Mangkunegaran di Ngawen, Gunungkidul. Masuknya wilayah enclave terjadi setelah 1950-an. “Dulu bisa masuk DIJ karena ada keputusan Mendagri. Agar lebih jelas, silakan dinas (DPTR, red) berkoordinasi dengan Biro Hukum Setprov DIJ,” pintanya.

Kepala Seksi Pemerintahan Desa Mangunan Widodo mengatakan, sesuai data maupun peta desa tidak menjumpai tanah SG di desanya. “Dulunya Mangunan ini masuk wilayah Imogiri Surakarta,” terang Widodo.

Anggota Pansus Suwardi mengaku lega mendengarkan keterangan Gusti Hadi. Dia bercerita sejumlah warga Mangunan kerap mengeluh. Upaya mengurus sertifikat atas tanah yang mereka gunakan terganjal. Gara-garanya, tanah yang mereka tempati dianggap sebagai tanah SG. “Padahal kami tahu Mangunan sejarahnya bukan wilayah Kasultanan Jogja, tapi Kasunanan Surakarta. Kecamatan Dlingo ini juga baru terbentuk 1975,” cerita mantan Lurah Mangunan 15 tahun ini.

Dengan adanya penjelasan Gusti Hadi itu, Suwardi meminta agar DPTR DIJ segera menghentikan pendataan tanah SG di wilayah enclave. Khususnya Desa Mangunan. Inventarisasi dan identifikasi yang dilakukan DPTR membuat warga kesulitan memproses sertifikat tanah miliknya.

Menurut politisi Partai Golkar ini tanah di Mangunan terbagi atas tiga jenis. Yaitu, tanah desa, tanah oro-oro atau OO dan tanah warga. Tanah OO sebagian digarap warga dan sebagian lagi dikelola pemerintah.

“Tolong pendataan tanah SG di Mangunan dicoret. Kasihan masyarakat,” pinta Suwardi kepada Kepala Seksi Inventarisasi dan Identifikasi DPTR DIJ Agus T. Junaidi yang ikut mendampingi pansus.

Sejarah hukum wilayah enclave masuk DIJ terungkap dari penjelasan anggota pansus lainnya Suharwanta. Dia secara runtut mengatakan, sejarah tanah enclave terjadi usai Perang Diponegoro 1825-1830. Wilayah kasultanan yang semula luas dipangkas dengan Perjanjian Klaten 27 September 1830. Wilayah kasultanan tinggal daerah Mataram (selatan Gunung Merapi) dan Gunungkidul.

Perjanjian Klaten mengatur makam-makam suci di Imogiri dan Kotagede milik bersama antara kasunanan dan kasultanan. Untuk merawat makam suci tersebut, Kasunanan Surakarta diserahi tanah seluas 500 cacah di dekatnya.

“Tanah seluas 500 cacah ini disebut tanah enclave. Terbagi dalam Kapanewonan Imogiri Surakarta dan Kotagede Surakarta,” terang dia. Imogiri Surakarta meliputi Desa Imogiri, Karangtalun, Karangtengah, Kebonagung, Girirejo, Dlingo, Mangunan, Muntuk dan Desa Temuwuh. Sedangkan Kotagede Surakarta terdiri atas Desa Jatimulyo, Terong, Segoroyoso, Bawuran, Wonolelo, Singosaren dan Desa Jagalan.

UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIJ disebutkan daerah yang meliputi daerah Kasultanan dan Paku Alaman ditetapkan menjadi DIJ. Saat itu wilayah enclave tidak masuk DIJ. Wilayah enclave, lanjut Suharwanta, baru masuk ke DIJ melalui UU Darurat No. 5 Tahun 1957 tentang Pengubahan Kedudukan Wilayah Daerah-Daerah Enclave Imogiri, Kota Gede dan Ngawen.

UU darurat itu kemudian ditetapkan menjadi UU No. 14 Tahun 1958. Tindak lanjut, kata Suharwanta, dikeluarkan Perda DIJ No. 1 Tahun 1958. Isinya tentang Perubahan Batas dan Nama Kapanewon-Kapanewon Imogiri, Gondowulung dan Kotagede dalam Kabupaten Bantul. Selanjutnya lahirlah Kecamatan Imogiri, Dlingo, Pleret dan Banguntapan.

“Sekarang persoalan tanah enclave menjadi terang dan jelas,” timpal Ketua Pansus Rendradi Suprihandoko usai Suharwanta bicara.

Sebelum ke Mangunan, Rendradi memimpin kunjungan ke Desa Gadingsari, Sanden, Bantul. Di desa ini ditemukan pematokan tanah SG oleh Trah HB VII seluas 2 hektare. Tanah itu kemudian disewakan. Di lokasi ditemukan dua patok warna merah. Sama-sama bertuliskan SG. “Satu di pasang Trah HB VII dan satunya oleh DPTR melalui pemerintah desa,” ujar Kepala Desa Gadingsari Mashari. (kus/zam/mg1)