IBNU SUBIYANTO
Bupati Sleman 2000-2010

Orang yang terlahir di negeri tropis dihadapkan pada kenyamanan lingkungan alam yang jauh beda dengan mereka yang terlahir di negeri subtropis. Kalau pun boleh mengeluh, manusia tropis nggak suka kemarau panjang atau banjir bandang. Tetapi, selebihnya adalah nyaman.
Di negeri subtropis pun, manusia juga pengin hidup nyaman: nggak ada musim dingin atau musim panas. Kenyataannya, alam tak mau kompromi dengan maunya manusia, alam bergerak, dan berubah sesuai dengan hukum alam. Sedang manusia dipaksa harus menyesuaikan diri dengan hukum alam yang mengitarinya. Oleh karena hidup pada iklim yang berbeda, membawa akibat yang berbeda pula.

Sejak dulu kala, manusia yang hidup di iklim tropis lebih mudah untuk mencari makan karena banyak vegetasi dan hewan yang bisa diburu. Sebaliknya, hidup di iklim subtropis, pada musim dingin ketersediaan bahan makanan akan sangat sulit diperoleh. Pada musim dingin, tanah menjadi beku seperti es batu dan tak mungkin untuk bercocok tanam. Pohon pun terpaksa merontokkan daunnya karena kekurangan aliran air ke ranting dan daun.
Manusia pun harus berada di ruang yang hangat dan berlindung di balik rumah bertembok tebal dengan daun pintu dan jendela rangkap. Manusia akan mati membeku di rumah yang tanpa pemanasan yang memadai sehingga tidak akan kita temukan manusia gembel tidur di emperan toko atau sembarang tempat. Mereka sadar, dalam setahun hanya bisa bercocok tanam selama delapan bulan. Oleh karena itu, mereka harus bangun silo atau gudang penyimpanan panenan gandum.

Alam dan lingkungan hidup di daerah beriklim tropis ternyata membentuk perilaku berbeda dengan manusia yang hidup di daerah beriklim subtropis. Manusia tropis bisa tinggal dan tidur di mana saja mereka mau. Rumah gubug sederhana pun bisa untuk bertahan hidup. Kesemua itu mengakibatkan orang tropis cenderung bergantung pada alam raya dan malas untuk mengatasi sistem yang diciptakan alam raya. Perilaku orang tropis cenderung menyerah pada alam, asal bisa hidup, dan menikmati hidup.
Orang subtropis, yang harus bertahan hidup di lingkungan alam yang keras, akan cenderung berusaha mengatasi dan menundukkan alam yang mengitarinya agar bisa bertahan hidup. Di musim dingin, orang subtropis akan mati kelaparan bilamana tidak mempunyai logistik yang cukup selama tiga hingga empat bulan baik untuk dirinya maupun untuk ternaknya. Mereka akan mati membeku bilamana tak mempunyai rumah yang bertembok tebal dan tersedia instrumen pemanasan ruang. Artinya, hidup di daerah subtropis pasti lebih rumit dan lebih mahal harganya dibanding dengan di alam tropis.

Mereka pun menjadi kenal beda waktu yang memberikan artian yang bermakna bagi penilaian atas ketersediaan bahan makanan sebagai harga yang bernilai ekonomi. Alam lah yang mengajari mereka mengenal istilah logistik sehingga memahami arti penting berjaga-jaga terhadap kelangkaan barang sebagai nilai ekonomi. Pengertian Logistik menjadikan mereka mengenal gap antara supply-demand yang menjadikan mereka paham beda waktu atau pun kelangkaan sebagai nilai yang bisa diperdagangkan.
Mereka mengalahkan kejamnya alam dengan cara yang sangat taktis. Sehingga, masa paceklik pun masih punya sediaan bahan makanan yang pada akhirnya melahirkan kaum pedagang. Dari masyarakat subtropis inilah lahirlah doktrin ekonomi dengan berbagai aturan main berniaga yang dibentuk oleh nilai-nilai budaya subtropis yang dikenal sampai sekarang.
Bangsa Belanda yang tidak punya lahan pertanian yang luas sebagaimana tetangganya Jerman, membangun kekuatan ekonominya dengan berdagang. Kebetulan, orang Jerman tidak punya pelabuhan yang operasional sepanjang musim karena musim dingin laut utara membeku. Oleh karena itu, ekspor Jerman baik pertanian maupun produk industri, harus melewati pelabuhan Belgia-Belanda. Itulah sebabnya, Kerajaan Belanda membangun koloninya (Indonesia), dengan pendekatan pedagang.

Berbeda dengan orang Inggris dan Jerman, mereka membentuk darah koloninya sebagai pasar atas produk industrinya sehingga kapitalisme industri tumbuh berkembang dengan baik. Sistem pemerintahan Kolonial Inggris mau tidak mau harus berusaha mensejahterakan rakyat koloninya agar produk industrinya mempunyai pasar yang permanen.
Berbeda dengan pedagang Belanda yang hanya butuh barang dagangan untuk diperdagangkan dan tak perlu mengurusi para produsennya. Di negeri Koloni Belanda pun, mereka mengundang masuk industri perkebunan (Jawa dan Sumatera) dan hasil perkebunan itu harus disetor ke pemerintah Kolonial Belanda sebagai pemegang hak monopoli perdagangan.
Pola pikir masyarakat subtropis baik dari barat (Eropa) maupun timur (Asia) tak akan jauh berbeda dalam hal menata dan mengatasi ancaman alam yang keras. Orang subtropis, tak mau menyerah pada alam tetapi harus bersiap mengatasi ancaman alam dan lingkungannya. Ancaman menjadikan mereka selalu berjaga-jaga dan meyakini hari esok penuh ketidak pastian.

Ancaman tidak selalu datang dari alam. Tapi, bisa pula datang dari bangsa lain yang ingin menjarah kekayaan yang melimpah negerinya. Oleh karena itu, bangsa subtropis mempersenjatai dirinya dan selalu siap untuk berperang. Bahkan, tentara pun digunakan untuk mengawal armada perdagangan (seperti Amerika Serikat) dengan alasan melindungi segala kepentingan nasional mereka.
Ancaman itu pula lah yang melahirkan doktrin sebanyak mungkin menguasai sumber kekayaan alam dan jaringan supply mata dagangan utama, yang ternyata berada di negeri tropis. Dari ketakutan dan ancaman itulah menjadi daya dorong perilaku yang ekspansionistik untuk menguasai dan menjarah harta milik bangsa lainnya dengan cara apapun.

Dari kolonisasi melalui perdagangan oleh korporasi dan kekuatan senjata berubah bentuk menjadi kolonialisasi negara (kerajaan di Eropa) pasca-kekalahan Napoleon di tahun 1812 dalam perang melawan Inggris dan sekutunya. Hampir seluruh kawasan negeri tropis dengan seenaknya sendiri dikapling-kapling menjadi milik negara atau kerajaan bangsa-bangsa Eropa dan harus tunduk dan patuh pada hukum dan aturan yang mereka tetapkan.
Kolonisasi bukan hanya penguasaan wilayah dan kekayaan alam saja. Kolinialisasi juga penguasaan terhadap manusianya (karena bisa dijual sebagai budak) yang tentu menjadikan semuanya seperti sebuah aset produktif. Hukum kolonial telah mengubah suatu negeri hanya sebagai properti untuk kepentingan sang pemilik, yang sebagian besar wilayah koloni itu ada di negeri tropis. (*/amd/mg1)