JOGJA – Meski beberapa Kepala Daerah di Indonesia sudah dipimpin seorang perempuan, peran perempuan dalam politik masih dianggap sebelah mata. Perjualan perempuan dalam politik juga tidak sekedar meminta kuota perempuan 30 persen di parleman saja.
“Saya kira masih banyak cara yang ditempuh, semisal dengan meningkatkan kualitas perempuan melalui pemberdayaan di bidang politik,” ujar anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal daerah pemilihan DIJ GKR Hemas dalam sosialisasi Pancasila di Keraton Kilen kemarin (8/6). Hal lainnya yang juga dinilai perlu terus didengungkan adalah sosialisasi supaya perempuan Indonesia tidak alergi politik. “Bentuk kesepakatan yang intinya tidak ada lagi kaum perempuan yang justru menghancurkan karir politik perempuan lainnya,” sambung dia.
Diakuinya untuk mengajak perempuan terjun dalam kancah politik terkadang masih terkendala hambatan, seperti jenjang pendidikan. Ada yang hanya lulusan SMA minder jika bicara di depan lulusan sarjana. Ada pula perempuan yang masih memandang politik salah serta keterbatasan dana. “Biasanya perempuan melihat politik sesuatu yang menakutkan, sehingga ada sedikit masalah saja langsung mengundurkan diri,” keluhnya.
Persoalan lainnya, sebut Permaisuri Raja Keraton Jogja itu adalah masih kuatnya budaya patriaki serta peranan partai politik. Menurut dia selama ini keberadaan perempuan belum dipandang penting oleh parpol. Buktinya tidak banyak pengurus parpol yang berasal dari kaum hawa. “Kalaupun ada paling tinggi biasanya bendahara atau Wakil ketua bidang pemberdayaan perempuan,” kritiknya.
Untuk itu Pemilu 2019 nanti menjadi tantangan bagi para aktivis perempuan untuk bisa mendapatkan tempat. Hemas sempat menyampaikan kisah Khofifah Indar Parawangsa, yang saat ini unggul dalam perhitungan Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2018. Tapi perjuanagn sebelumnya Khofifah sempat menggambarkan kejamnya budaya patriarki di Indonesia. “Pada Pilkada sebelumnya seharusnya dia sudah menang tapi dominasi laki-laki memaksa beliau menerima kekalahan,” kisah Hemas. (pra/ong)