MENANGGAPI isu transfer politisi dari satu partai ke partai lain dalam pendaftaran Caleg 2019, saya menyebut sebagai menguatnya oportunisme parpol.

Beberapa anggota DPR dari PAN periode 2014 – 2019 yang tiba-tiba pindah mendaftar sebagai caleg Partai Nasdem. Atau wakil rakyat dari Golkar menyeberang maju jadi caleg dari Partai Berkarya.

Muncul isu transfer dari partai tertentu untuk membajak kader partai lain yang sudah duduk sebagai anggota parlemen. Ada yang bilang dijanjikan Rp 5 miliar agar mau pindah menjadi caleg di partainya.

Tarif transfer Rp 5 miliar itu dianggap sebagai kompensasi atas hilangnya gaji, tunjangan, dana aspirasi, dan lainnya, jika kelak di PAW dari fraksi yang ditempati sebelumnya di senayan.

Perhitungannya, gaji selama kurang lebih 16 bulan sejak mendaftar caleg di parpol lain, sampai Oktober 2019, periode berhentinya anggota DPR RI 2014 – 2019.

Bisa juga angka transfer “pembajakan caleg” itu untuk biaya kampanye menjelang Pemilu 2019.

Tiba-tiba pesta demokrasi menjadi lebih transaksional daripada bursa transfer pemain di La Liga atupun Premier Liga Inggris.

Mengejutkan, karena hajatan memilih wakil rakyat jauh lebih kotor daripada pembajakan bandar judi.

Idealisme demokrasi tumbang. Kaderisasi politik yang edukatif dan ideologis sudah dimarginalkan. Dinamika dan dialektika merebut hati rakyat sudah dianggap tidak menarik dan kehilangan martabat. Bahkan, pembajakan caleg, transfer gelap lintas parpol juga sudah menggunakan cara-cara yang kontra dengan keluhuran demokrasi Pancasila.

Parpol tak perlu berjerih payah menempuh proses kaderisasi dan penanaman ideologi bagi kader parpol. Itu dianggap terlalu kuno, prosesnya juga terlalu lama.

Parpol tak perlu menyusun kurikulum ideologisasi politik untuk bakal calegnya. Caleg partai Kuda tak tahu berapa kaki kuda. Caleg partai babi juga tak paham peta kekuatan babi. Bahkan, caleg itu sendiri tidak perlu memahami falsafah mengapa ada wakil rakyat.

Parpol yang punya dana besar, yang punya anak buah di kabinet, di pos-pos BUMN, di kursi kepala daerah, tinggal kumpulkan uang untuk “membeli” kader parpol tetangga.

Cukup Rp 2 miliar, atau paling tinggi Rp 5 miliar, caleg dari parpol sebelah yang berlatar artis cantik, mantan atlet terkenal ataupun mantan elit parpol yang menjadi korban konflik internal, berpeluang besar pindah hati ke parpolnya. Dan siap menjadi caleg lengkap dengan konstituen, fans, dan ribuan penggemarnya yang juga polos.

Bandingkan saja jika parpol harus mengadakan sekolah politik, rekruitmen kader, sampai seleksi caleg. Biayanya jauh lebih mahal, butuh waktu lama, dan menghabiskan energi. Jalan pintas inilah, yang perlahan akan merobohkan kualitas parlemen.

Bagaimana mungkin kita berharap akan lahir produk-produk legislasi yang menjawab tantangan rakyat, bangsa dan entitas besar Indonesia, jika calon wakil rakyat yang akan kita pilih saja tidak tahu bedanya berbaju hijau dan baju merah.

Kesimpulannya, pembajakan Caleg dan isu bursa transfer gelap antar parpol, sangat mencoreng pemilu 2019.

Akhirnya, jangan berharap kualitas parlemen. Jangan menunggu Senayan akan kritis untuk mengontrol kekuasaan eksekutif yang hegemonik. Jangan mimpi untuk memperkuat bicameralisme.

Dan, berhentilah berharap, bahwa pemilu akan merubah nasib 260 juta nyawa bangsa Indonesia.  (ila)

*Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta dan Sekretaris LPBH PWNU DIJ