SLEMAN – Ada pemandangan tidak biasa di Balai Desa Pandowoharjo, Jumat (17/8). Puluhan pria berbaris rapi mengenakan busana Jawa lengkap. Mereka adalah Prajurit Bregodo Kyai Pancas lengkap dengan tombaknya. Di depannya perempuan-perempuan pembawa bendera diikuti pembawa bunga, dan warga. ”Biar generasi muda paham akan perjuangan para pahlawan,” kata Indro Kismawan, yang telah ketiga kali ini menjadi komandan bregodo.

Kirab dimulai dari balai desa lalu berjalan menuju ke utara. Setelah sampai di kediaman Kepala Dukuh Mancasan Kleben Gapong Maharia, mereka berhenti untuk serah terima bendera. Selanjutnya, perjalanan diteruskan ke makam. Di situ diadakan upacara bendera dengan menggunakan Bahasa Jawa krama inggil.

Gapong kemudian membacakan kisah perjuangan para pahlawan yang telah gugur di medan perang yang tercatat dalam ”Sabdatama”. Pertama, Ngatijo, yang gugur di pertempuran Ambarawa 5 April 1956 pada usia 15 tahun. Begitu juga Siswoharjono, Aji, Sukarli, dan Ngudikaryo. Akan tetapi, Ngudikaryo pulang dengan selamat yang kemudian menjadi kepala Dukuh Mancasan Kleben yang pertama. Ia disegani karena memimpin dalam kedisiplinan dan kejujuran.
Berikutnya, Wismodimejo yang berjuang bersama para pejuang keagamaan “Hasbullah”. Ia pernah dibawa ke Makasar untuk menjalani kerja paksa pada tahun 1942. Setelah kembali, dia menjadi pemuka agama. Dialah yang mewakafkan tanahnya untuk menjadi Masjid Al-Khiro yang sampai saat ini masih digunakan.

Selesai upacara, dilanjutkan dengan tabur bunga ke makam para pahlawan tersebut.”Sebagai generasi saat ini, kita harus meneladani para pejuang ini,’’ tegasnya. (cr-10/din/mg1)