MEMANG berkomentar itu gampang, sedangkan membuat karya itu susah. Inilah yang membuat saya agak ngerem dalam berkata-kata tentang film yang judulnya nyaris seperti judul skripsi mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah ini. Tinggal dikasih batasan temporalnya alias kapan sampai kapan, praktis layak jadi judul skripsi.
Sinopsis film ini saya kesampingkan saja karena berkutat roman sejarah dengan karakter utama Sultan Agung. Akurasi sejarahnya saya singkirkan juga, karena pengetahuan saya tentang Sultan Agung juga tak cukkp mendalam. Komentar saya ini murni dari sisi pengalaman sinematik yang saya peroleh saja.
Membicarakan film garapan Hanung Bramantyo selalu saja membuat saya geregetan karena dia sangat produktif dan nyaris membuat film yang minimal cukup berkesan mendalam bagi saya. Di film ini bisa saya bilang tak ada kemajuan prestasi yang signifikan dari seorang Hanung Bramantyo.
Sejak awal film, terasa betul rona hijau corak gambar filmnya. Kalau konstan, mungkin tak mengapa. Sayangnya, rona gambar tampil tak konsisten. Inkonsistensi visual ini cukup mengganggu. Ditambah lagi efek visual CGI dari film ini yang lebih memprihatinkan ketimbang di film Kartini (yang pengambilan gambar via drone-nya sedikit membuyarkan selera saya).
Berikutnya, lini skrip film ini tak ada yang saya rasa patut disanjung. Bahasa Jawa-nya campuran, ada yang Jawa Timur-an untuk karakter yang wangun-nya nggak pakai itu. Malah, bahasa Belanda-nya lebih terpasang nggenah karena diucapkan oleh penutur asli. Struktur babak tak jelas, klimaks tak teraba.
Adegan aksi yang diproyeksikan kolosal malah jadi pemuntah atensi saya yang awalnya sempat tersedot. Terlalu repetitif, lebih-lebih pada efek suara hantaman yang di beberapa adegan terasa sintetis dan pengadegan gerak woles alias slow-mo yang alih-alih menambah dramatis malah memuat geli. Skrip yang kadung tak bisa saya raba pembabakannya ini makin terseok-seok di lapangan durasinya yang 2,5 jam.
Ilustrasi musik dari Tya Subiakto yang awal-awalnyanya terdengar “baiklah cocok ma adegan eh lama-lama menyulap film ini jadi sinetron juga”. Sepanjang durasi film, saya sampai bertanya-tanya pd diri sendiri bahwa di aspek manakah saya harus memaksa diri untuk menyukai film ini.
Lantas, saya sengaja memilih mengapresiasi olah perannya Ario Bayu yang memerankan Sultan Agung dewasa. Di mataku, pemeranan dia yang membuat film ini punya sedikit kelezatan. Dia ibarat sambal ditengah hidangan dengan lauk-pauk yang tak saya cocoki.
Di film ini kesabaran saya telah diuji sejak awal durasi, kata “bekerja sama” pada saat opening credit title saja ditulis menyambung alias “bekerjasama”. Hadeuh. Lewat formula khas film biopiknya, di sini Hanung tetap tak menawarkan kebaruan.
Di atas semua itu, saya tersadar juga bahwa betapa sulitnya membuat film kolosal historis seperti ini. Hal itu pula yang membuat saya akhirnya mengunci mulut. (ila)
*Penulis adalah penggemar film dalam negeri dan penikmat The Chemical Brothers yang bermukim di Jogja Utara.