SLEMAN – Tirta Amartha dikuasai oleh para raksasa. Para dewa tak bisa menerima kenyataan itu. Segala cara dan upaya dilakukan untuk merebut kembali air yang bisa membuat para dewa hidup abadi. Namun bukan lewat jalan peperangan. Tapi menggunakan muslihat.

Dewa Wisnu lantas menjelma menjadi dewi cantik bernama Mohini untuk memikat hati para raksasa. Cara itu pun berhasil. Tirta Amartha kembali menjadi milik para dewa. Itulah gambaran dalam Festival Ratu Boko yang digelar akhir Sabtu (22/9).

Aplaus ratusan penonton mewarnai penampilan para penari dari Sanggar Tari Saraswati, Bali.

“Para seniman berhasil menyuguhkan pagelaran yang membuat kami terpukau,” puji Direktur Pemasaran dan Pelayanan PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko (TWC BPRB) Ricky Sahala Parlindungan Siahaan.

Selain Tirta Amartha, Sumunaring Abhayagiri menjadi suguhan utama Festival Ratu Boko. Sumunaring Abhayagiri dipentaskan mahasiswa Jurusan Pendidikan Tari, Universitas Negeri Yogyakarta Minggu (23/9), sekaligus menjadi penutup festival kali ini. Sendratari ini mengisahkan kegelisahan Pancapana ketika meninggalkan istana untuk menemui rakyatnya di seluruh negeri. Pancapana bertekad memberi semangat dan menolong rakyatnya yang menderita.

General Manager Komersial PT TWC BPRB Emilia Eny Utari mengatakan, panitia sengaja memilih lakon Selain Tirta Amartha dan Sumunaring Abhayagiri karena mewakili latar belakang budaya yang berbeda. Tirta Amartha menyuguhkan warisan budaya Bali. Dedangkan Sumunaring Abhayagiri merupakan warisan budaya Jawa.

“Dua lakon tari klasik ini sangat sesuai jika dikaitkan dengan Situs Keraton Boko yang mewarisi mitologi Hindu,” tuturnya.

Adapun beberapa lakon yang turut dipentaskan sebagai tarian pembuka festival pada Sabtu (22/9), di antaranya, Sekar Puri, Mugi Rahayu, dan Kayungyun. Sedangkan tarian pembuka pada Minggu (23/9) berupa tari kreasi Nusantara dan Pasar Ting. Tarian ini disuguhkan oleh Sanggar Tari Arkamaya Sukma dan Nur Sekar Kinanti. (cr10/yog)