Media sosial (medsos), hampir semua orang menggunakannya untuk bersosialisasi di era ini. Segala kemudahan yang ditawarkannya membuat setiap orang sangat bernafsu untuk menggunakannya. Meskipun demikian, medsos tidak lantas terlepas dari potensi negatif. Kemajuan teknologi bernama medsos tersebut juga menyisakan sejumput persoalan yang menjadi tantangan bersama, termasuk dalam hal berdemokrasi.
Penggunaan medsos yang dulu lebih banyak untuk keperluan hiburan, kini merambah ke fungsi yang lain termasuk sebagai alat politik. Murahnya biaya yang dikeluarkan ketika berkampanye menggunakan medsos tentu membuat setiap politisi girang. Salah satu benefit yang didapatkan ialah biaya politik yang kondang dengan kemahalannya bisa ditekan karena ongkos kampanye yang dulu lebih didominasi oleh media cetak, kini beralih ke media digital dan disebarluaskan melalui medsos.
Penggunaan medsos untuk kampanye politik memanglah tidak salah, akan tetapi ketika medsos digunakan untuk menyebarkan berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian (hate speech) tentu hal tersebut tidak bisa dibenarkan. Parahnya, hal tersebut saat ini marak sekali terjadi, medsos digunakan oleh oknum poltisi yang tidak bertanggungjawab untuk memuluskan aksinya dalam meraih kuasa.
Ambisi politisi yang kebelet berkuasa di era digital ini kemudian memicu munculnya pekerjaan haram yang menjadikan hoax dan hate speech sebagai komoditas. Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), pada tahun 2017 saja terdapat 800.000 situs yang mengandung hoax, hate speech, dan konten-konten negatif. Hal tersebut bisa dipahami karena hampir semua orang memiliki medsos, dan sangat bebas untuk mengunggah apapun yang publik mau sehingga sangat sulit mengontrol konten yang terdapat dalam medsos.
Sebenarnya sudah terdapat seperangkat aturan untuk mengontrol penggunaan medsos, salah satunya yaitu UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transasksi Elektronik (UU ITE). Akan tetapi aturan tersebut masih dianggap sebagian orang belum efektif karena terdapat beberapa pasal yang sering disebut sebagai pasal karet karena pasal tersebut rawan disalahgunakan.
Beberapa hal yang sering dipertentangkan publik terkait kontrol informasi di medsos ialah mengenai kebebasan informasi dan mengemukakan pendapat. Akan tetapi juga akan sangat berbahaya apabila tidak ada kontrol sama sekali, mengingat semua orang kemudia bisa menjadi pembuat berita yang validitasnya sulit untuk dipertanggungjawabkan.
Dalam dunia jurnalistik, terdapat istilah citizen journalism yang artinya adalah masyarakat bisa berpartisipasi menjadi jurnalis dengan mengirimkan konten berita kepada media. Berita tersebut kemudian akan disunting pihak redaktur tanpa merubah substansi beritanya sehingga bisa dibaca oleh khalayak.
Dalam medsos pun demikian, akan tetapi dalam dunia medsos tidak mengenal konsep redaktur seperti halnya di media massa. Medsos bisa dikatakan sebagai media tanpa editor karena tidak terdapat proses moderasi dan penyuntingan sebelum berita ditayangkan.
Absennya proses moderasi dan penyuntingan seperti halnya dalam media massa tersebut yang kemudian diduga membuat medsos menjadi lahan subur persebaran hoax dan hate speech. Medsos yang dikatakan sebagai media tanpa editor, dan kemudian dimanfaatkan oleh oknum politisi untuk memuluskan jalan mereka dalam menduduki tampuk kepemimpinan dengan cara apapun termasuk dengan menenar hoax dan hate speech tidak boleh menyurutkan semangat juru damai untuk mempersatukan kembali publik yang terpecah-belah karena hoax dan hate speech.
Terdapat ungkapan populer yang berbunyi “Apabila tidak bisa menutup mulut semua orang, maka hal yang bisa dilakukan adalah menutup telinga sendiri”. Ungkapan tersebut apabila dikaitkan dengan persoalan di atas dapat berarti memang sulit mengendalikan konten medsos, akan tetapi sangat mungkin mengedukasi publik agar tidak mudah termakan hoax dan hate speech terutama di tahun politik seperti ini.
Publik sangat diharapkan untuk menahan diri ketika mengunggah sesuatu di media tanpa editor ini. Kearifan dalam menerima dan menyebarkan informasi sangat diharapkan agar kemudian tidak menimbulkan kegaduhan.
Para tokoh berpengaruh pun juga sangat diharapkan untuk berhati-hati dan bertanggungjawab atas nama besar yang disandangnya karena hal tersebut sangat mempengaruhi arus opini publik di akar rumput. Medsos yang notabenya media tanpa editor sebaiknya dimanfaatkan untuk hal positif, yaitu sebagai alternatif untuk berekspresi selain pada media arus utama. (ila)
*Dosen Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, Alumnus Interdisciplinary Islamic Studies Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta