”Pengambil keputusan itu tak menyadari bahwa suatu kota sebagai suatu grand system  punya banyak subsistem perkotaan yang kesemuanya butuh alokasi anggaran.”
—–

Oleh: Ibnu Subiyanto
Bupati Sleman 2000-2010

Apa sebetulnya harapan anak-anak muda pada pemimpin pemerintahan di suatu  daerah? Banyak anak-anak muda yang tak berharap apapun, setelah seorang kepala daerah terpilih memalui pilkada. Sebab, sang kepala daerah terpilih itu belum pasti akan membawa perubahan di daerahnya.

Anak-anak muda Kota Jogja pun sering berujar, ”Tuh, Malioboro lagi, Malioboro lagi. Emang-nya Kota Jogja itu hanya Malioboro.” Orang Jogja sendiri sering kali menjadi risih, karena di sudut-sudut kampung kota yang luasannya tak sampai 33 kilometer persegi itu banyak ditemukan perkampungan yang sangat minimalis alokasi dana pembangunannya.

Jika dikumpulkan, berapa uang yang sudah digelontorkan untuk merombak dan menata Malioboro berkali-kali, akan terlihat seberapa besar perbedaan anggaran untuk Jalan Timoho atau pun jalan lainnya. Sementara itu, tak jauh dari Jalan Malioboro dan jaringan jalan aksesnya, banyak fasum dan ruang hunian yang tak tersentuh anggaran pula.

Rupanya, persoalan yang sama pun dihadapi oleh kota-kota lain di Indonesia ini. Seperti di Surakarta, ruas Jalan Slamet Riyadi selalu mendapatkan alokasi anggaran paling besar dibanding ruas jalan yang lainnya. Kalau kita berkeliling Kota Solo pun akan kita temukan situasi yang tak jauh berbeda dengan kota Jogja. Trotoar yang seadanya dan tak terawat, tanaman yang tak terpelihara, taman kota yang ala kadarnya, dan yang paling mencolok coretan huruf dengan cat semprot pada bangunan. Magelang, Salatiga, dan lain-lain pun juga tidak jauh berbeda pula.

Semua itu menunjukkan, meski pada wilayah kota yang tak begitu luas, untuk menggelar dan meratakan anggaran bukanlah persoalan yang gampang. Tak menyentuh Malioboro agar menjadi lebih baik tentu akan dipermasalahkan dan dipersalahkan. Tetapi, alokasi anggaran yang tak merata ke sudut-sudut kota pun juga membawa masalah yang sangat rumit pula. Salah satunya akan diuraikan berikut ini: delusi aset publik.

Delusi (delution) aset, adalah suatu proses penurunan nilai aset (kekayaan) pada suatu sistem (entitas) yang disebabkan oleh keputusan atau tindakan sistem lain yang mampu meningkatkan nilai asetnya. Dalam konteks sistem suatu lingkungan kota (dalam hal ini, suatu kompleks kampung atau ruas jalan) membentuk kesatuan sistem yang berbasis lingkungan dan interaksi manusia dalam suatu sub organisasi wilayah kota.

Banyak orang melihat Jalan Malioboro hanya sebagai ruas jalan (secara fisik) semata, dan tak mempertimbangkan bahwa di ruas jalan tersebut sudah merupakan organ bersistem yang hidup dan berinteraksi dengan sistem lain. Dalam sistem Malioboro pun akan terlihat banyak unsur yang membentuk sistem tersebut, baik fisikal maupun tata-nilai yang terbentuk sejak ruas jalan itu ada.

Sebagai sebuah sistem, ruas Jalan Malioboro pun berinteraksi dengan sistem yang lainnya seperti sistem kampung di sekitarnya maupun sistem ruas jalan yang lainnya. Sistem Malioboro pun berinteraksi dengan sistem Timoho dan kadang bersaing dengan sistem di luar batas wilayahnya pula. Dalam konteks sebagai objek wisata, sistem Malioboro pun berinteraksi dan bersaing dengan sistem lainnya seperti Borobudur dan Prambanan.

Dalam konteks sistem itu pula, Sleman membuka perizinan investasi dalam properti yang pada akhirnya membuka sistem baru untuk menciptakan ruang bisnis dan objek wisata. Berdirinya mal di beberapa lokasi dengan sendirinya akan mengurangi porsi kekuatan tawar sistem Malioboro, yang apabila tak diimbangi upaya untuk memperbaikinya atau setidaknya menambah investasi, tentu saja akan terdelusi oleh sistem yang dikembangkan di Sleman.

Sayangnya, proses investasi di Malioboro tak melibatkan seluruh sistem, dan hanya dari aspek infrastruktur (pemerintahan) semata yang dengan sendirinya tak akan mampu meningkatkan nilai aset secara eksponential.

Segi yang lain terkait dengan alokasi anggaran. Pengambil keputusan itu tak menyadari bahwa suatu kota sebagai suatu grand system punya banyak subsistem perkotaan yang kesemuanya butuh alokasi anggaran. Repotnya lagi, sistem penganggaran yang diatur oleh pemerintah (UU) lebih menekankan pada aspek fungsi suatu organ pemerintahan di daerah.

Jadi, suatu alokasi anggaran itu dianggap benar kalau berbasis pada fungsi dinas atau lebih dikenal debagai perangkat daerah (OPD). Dan, itulah yang dipertahankan sebagai payung hukum yang sebetulnya sudah tak relevan lagi dalam konteks pemerintahan modern.

Primitivitas pengelolaan peemerintahan di daerah itu justru terlekat dengan ketidakmampuan mengelola dan membiayai seluruh subsistem pemerintahan daerah itu sendiri. Sehingga, tidak mampu bereaksi dengan cepat terhadap semua bentuk perubahan jaman maupun ancaman lingkungan dan persaingan global. Bahkan, persaingan antardaerah pun tak mampu diantisipasi dengan cepat dan cerdik.

Sebagai contoh, beberapa ruas jalan di Kota Jogja nilainya tak bergerak jauh diangka Rp 5 juta per meter persegi. Sebaliknya, ruas Jalan Affandi bergerak cepat dari sekitar Rp 3 juta per meter persegi pada tahun 2005 menjadi Rp 15 juta hingga Rp 20 juta per meter persegi di tahun 2015.

Ini berarti beberapa ruas jalan Kota Jogja terdelusi oleh ruas Jalan Affandi yang saat itu dikembangkan menjadi garden-streets dan didorong agar menjadi kawasan pertokoan kecil untuk pasar mahasiswa. Artinya, alokasi anggaran dari pemerintah daerah itu mempunyai pengarus langsung pada peningkatan aset publik dan sekaligus mendelusi aset di sistem yang lain.

Kemungkinan yang lain, alokasi anggaran yang berlebih pada sistem Malioboro pun berpotensi mendelusi sistem yang ada di dalam Kota Jogja itu sendiri. Itu pula yang mengharuskan para pengambil keputusan anggaran (yang dipilih dari rakyat juga) harus jeli dan pintar mengatur dan menata anggaran yang mereka putus sendiri. Kalau nggak pintar, pesaingnya bakalan ketawa ngakak, itu pula yang menyebabkan pendapatan asli daerah (PAD) Sleman dua kali lipat PAD Kota Jogja saat ini. Padahal, delapan belas tahun lalu hanya sepertiganya.

Kota sebagaimana diuraikan dalam artikel ke-59 adalah wilayah yang terbatas. Namunm sebenarnya pengelolaannya sangat rumit dan pelik. Sayangnya, banyak pengambil keputusan anggaran sebuah kota tak cukup paham dengan kepelikan dan kerumitan sebuah kota. Kebanyakan orang yang dipilih hanya hebat dalam mengurusi anggaran kunjungan kerja dan tak paham pula apakah hasil kunker itu bermanfaat dalam mengelola dan mengalokasikan anggaran buat meratakan dan menumbuhkan aset publik. (*/amd/din/fj/mg3)