SLEMAN – Sudah sekitar dua tahun angkutan online masuk Jogja. Selama itu pula angkutan umum menghadapi masa kelam.
Dulu banyak ditemui bus umum Kopata dan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) lain. Kini, angkutan perkotaan itu kian tergeser.
Bukan hanya karena tergeser ojek atau taksi online. Bus Trans Jogja juga menjadi faktor semakin meredupnya pamor angkutan perkotaan maupun perdesaan.
Dinas Perhubungan (Dishub) Sleman mendata, jumlah angkutan perdesaan menyusut. Kabid Transportasi, Dishub Sleman, Marjanto menjelaskan pada 2018 tinggal 42 armada angkutan perdesaan yang dikelola Koperasi Pemuda.
“Bahkan, angkutan perdesaan di Sleman jumlahnya lebih sedikit dari 42 armada,” kata Marjanto belum lama ini.
Padahal data Dishub Sleman hingga 2018, ada 78 armada angkutan umum yang memiliki izin. Kini hanya tersisa tujuh jalur yang masih aktif dilalui angkutan.
Antara lain trayek D6, Jalur 26, Jalur 30, Jalur 21, Jalur 19, Jalur 16, dan Jalur D2. Trayek Jalur 30 yang menempuh rute paling jauh, yaitu 139,6 kilometer.
Dari Tempel hingga Cangkringan. Kini di Sleman tinggal menyisakan empat terminal, yaitu Prambanan, Pakem, Condongcatur dan Gamping.
Marjanto melihat minat masyarakat terhadap angkutan umum rendah. Masyarakat memilih angkutan yang bisa mengantarkan dan menjemput dari pintu ke pintu.
“Yang bisa melakukan itu hanya taksi atau angkutan online yang biayanya murah. Lama-kelamaan angkutan umum akan kalah bersaing,” ujar Marjanto.
Pemerintah dinilai abai akan keberadaan angkutan umum. Banyak armada yang tidak diremajakan. Kendaraan yang masih beroperasi, tahun pembuatannya berkisar 1990 hingga 1997.
Marjanto berdalih, untuk perawatan semua diserahkan kepada Koperasi Pemuda. “Fungsi Dishub hanya memberikan izin operasi,” kata dia.
Peminat angkutan umum yang minim menyebabkan koperasi kesulitan menghidupi armadanya. Sudah sulit menarik masyarakat naik angkutan umum. Akhirnya perawatan dilakukan dengan sistem oplos spare part.
“Mengubah mindset masyarakat agar naik kendaraan umum sulit,” keluh Marjanto.
Jumlah kendaraan pribadi juga turut andil merosotnya pamor angkutan umum. Pemeritah tidak melakukan pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi.
Penggunaan kendaraan pribadi lebih murah, efisien, nyaman, dan cepat. Salah seorang pengguna Trans Jogja, Andrian Eka Saputra mengatakan lebih memilih naik motor. “Trans Jogja nyaman sih. Tapi saya lebih memilih motor, paling banter naik ojek online (ojol),” tutur pemuda asal Boyolali.
Pemprov DIJ pernah berwacana mengoneksikan angkutan umum menjadi satu. Untuk mengurai kepadatan kendaraan dan membuat masyarakat kembali menggunakan angkutan umum.
Namun rencana itu masih wacana. “Sekadar kajian, belum terealisasi dalam waktu dekat,” ujar Kepala Dishub DIJ, Sigit Sapto Raharjo.
Konektivitas itu rencananya melibatkan Trans Jogja. Namun masih dibahas solusi paling baik untuk mengurai kemacetan yang semakin para di Jogja.
Kepala UPT Trans Jogja, Sumaryoto mengatakan pelayanan masih stagnan. Trans Jogja melayani 17 jalur. “Jumlah bus 128 armada, yang beroperasi 116, dan 12 bus cadangan,” tuturnya. (har/iwa/zl/mg3)