JOGJA – Gunung Merapi terus menunjukkan aktivitas magmatis. Bahkan pada 23 November lalu terjadi luncuran material guguran lava sejauh 300 meter. Dari bibir kubah lava. Mengarah ke bukaan kawah di hulu Sungai Gendol.
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kasbani menyatakan, fenomena alam itu akibat penambahan material. Namun posisinya tidak stabil. Sehingga luncuran material melewati batas tepian kubah lava.

Adapun laju pertumbuhan kubah lava mencapai 3 ribu meter kubik per hari. Sedangkan volume totalnya sebanyak 308 ribu meter kubik per 22 November lalu.

“Penyebaran kubah lava sampai ke tepian. Menyebabkan terjadi longsoran. Kondisinya simetris dan relatif stabil, kecuali ujung-ujungnya,” jelas Kasbani Senin (26/11).

(GRAFIS: HERPRI KARTUN/RADAR JOGJA)

Menurutnya, kondisi tersebut tidak membahayakan penduduk lereng Merapi. Karena potensi guguran material relatif kecil dengan intensitas rendah. Lain halnya jika 70 persen volume kubah lava yang ada saat ini runtuh. Awan panas berpotensi terjadi dengan luncuran sejauh 2,2 kilometer ke arah Sungai Gendol.

“Dengan catatan kalau (kubah lava, Red) tidak stabil. Tapi saat ini kondisinya stabil,” lanjutnya.

Fase magmatis juga berdampak terjadinya ratusan gempa. Pada medio 16-22 November lalu terjadi 28 kali gempa embusan, dua gempa vulkanik dangkal, dua gempa fase banyak, 261 gempa guguran, dan 21 gempa low frekuensi. Kendati demikian, Kasbani menyatakan status Merapi tetap pada level 2 atau waspada. “Pertumbuhan kubah lava selalu bertambah besar namun kecepatannya sangat kecil,” jelasnya.

Alasan tidak meningkatkan status Merapi, menurut Kasbani, karena pertumbuhan kubah lava belum signifikan. Relatif kecil dibanding volume kawah yang diprediksi dapat menampung 10 juta meter kubik material.
Dia mengimbau masyarakat lereng Merapi tetap tenang. Dan selalu memantau perkembangan Merapi dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Jogjakarta.

“Yang penting tidak beraktivitas di wilayah bahaya yang direkomendasikan. Yakni radius tiga kilometer dari puncak,” pesannya.

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIJ Biwara Yuswantana meminta masyarakat meningkatkan kewaspadaan. Dengan melibatkan relawan dan mengoptimalkan peran warga desa tangguh bencana (destana). Warga diminta terus memonitor situs BPPTKG dan media sosial berkompeten. Juga mengamati puncak Merapi secara visual. Tak kalah penting, Biwara mewanti-wanti masyarakat bantaran sungai berhulu puncak Merapi. Yang menjadi aliran lahar hujan. “Itu bahaya sekunder Merapi yang harus diperhatikan,” ingatnya.

Optimalisasi pencegahan dampak bencana bisa dilakukan dengan memanfaatkan dana desa. Untuk keperluan mitigasi bencana. Disesuaikan dengan potensi bencana di desa terkait.
“Itu bahkan dianjurkan. Kalau memang dari desa memerlukan silakan saja,” katanya.

Biwara mencontohkan Desa Kemadang, Gunungkidul. Dana desa digunakan untuk pengadaan mobil ambulans dan alat evakuasi korban atau objek terdampak bencana. “Tapi ingat, dana desa hanya bisa untuk mitigasi. Bukan untuk kedaruratan,” ujarnya mewanti-wanti.

Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BPBD) Willem Rampangilei mendorong pemerintah daerah mengalokasikan anggaran bencana dalam jumlah cukup. Bukan sekadar dana darurat. Tapi juga anggaran mitigasi. “Itu (dana bencana, Red) wajib (teralokasi, Red),” tegasnya dalam pertemuan Forum Pengurangan Risiko Bencana di Sahid Rich Hotel kemarin.
Dikatakan, merujuk perencanaan pembangunan, pengurangan risiko bencana masuk prioritas nomor dua. Sebab, bencana bisa menjadi penyebab utama terhentinya stabilitas dan dinamika suatu daerah.

Dana desa bisa dimanfaatkan dalam bentuk program mitigasi bencana. “Ini sifatnya pencegahan. Kami sudah berkoordinasi antarkementerian mengenai pemanfaatan dana desa untuk mitigasi bencana,” katanya.

Antisipasi dini dampak erupsi Merapi juga dilakukan BPBD Sleman. Salah satunya dengan optimalisasi desa penyangga erupsi. Ada lima destana. Tersebar di empat kecamatan. Yakni Argomulyo, Cangkringan;
Trimulyo, Sleman; Sukoharjo dan Sariharjo di Ngaglik; serta Wedomartani, Ngemplak. Desa-desa tersebut diprioritaskan sebagai titik evakuasi bagi warga terdampak erupsi. Khusus Argomulyo, selain jadi desa penyangga sekaligus rawan bencana. Alternatif jika kondisi memburuk, warga Argomulyo dievakuasi ke Desa Bimomartani, Ngemplak.

“Desa penyangga harus siap menerima pengunsi saat ada evakuasi. Setiap personel harus sudah paham alurnya,” ungkap Kasi Kesiapsiagaan BPBD Sleman Rini Isdarwati.

Sekolah siaga bencana (SSB) juga disiapkan. Programnya sister school sebagai sekolah penyangga. Selama erupsi proses belajar mengajar siswa dialihkan di sekolah penyangga.

Rini justru mendorong warga melakukan evakuasi mandiri. Tanpa perlu menunggu komando pemerintah. (tif/dwi/yog/rg/mg3)