SLEMAN – Hicon Law and Policy Strategic memprediksi angka golput (golongan putih/warga yang tidak menggunakan hak pilih) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 tinggi. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), angka golput pada kisaran 30 persen dari usia pemilih. Rata-rata didominasi usia 20 tahun hingga 40 tahun.

Kepala Departemen Politik Hicon, Puguh Windrawan mengatakan, ada dua kategori golput. Pertama terkait persoalan administratif. Hal ini bisa diselesaikan jika KPU melakukan pendataan calon pemilik suara secara menyeluruh.

“Yang cukup rawan golput karena persoalan ideologi. Ada ketidakpuasan kepada petahana, tapi tidak mungkin mencoblos pasangan calon nomor urut dua,” kata Puguh, Selasa (18/12).

Ada empat kelompok yang tergolong golput ideologis. Kelompok pertama pendukung Basuki Tjahya Purnama atau Ahok. Kelompok ini kecewa atas keputusan pemilihan calon wakil presiden KH Ma’ruf Amin.

Kelompok kedua, pegiat isu hak asasi manusia (HAM) yang memiliki pandangan isu HAM di era Joko Widodo belum tuntas. Di satu sisi, kelompok ini tidak mungkin memilih Prabowo Subianto. Alasannya, Prabowo dianggap pelanggar HAM.

Kelompok ketiga adalah aktivis gender. Kelompok ini menganggap pemerintahan saat ini belum optimal mengusung aspirasi dan isu gender.

“Kelompok keempat, adalah kelompok yang jengah terhadap kedua pasangan calon. Mereka tidak nyaman dengan gaya berkampanye keduanya, sehingga memilih golput,” ujar Puguh.

Hicon melakukan penelitian kualitatif. Meski tidak menyasar angka, persentase golput terlihat jelas. Ditambah dengan data KPU, angka golput di Jogjakarta didominasi usia muda.

Kepala Departemen Hukum Hicon, Allan FG Wardhana menyoroti gaya kampanye kedua capres. Pergerakan kampanye telah berjalan sebelum masa kampanye bergulir. Dikemas dalam berbagai kegiatan, bahkan cenderung kampanye hitam.

Hicon menyoroti kampanye berkaitan dengan isu suju, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Meski UU Pemilu tegas melarang, resep SARA terbukti laris. Berdasarkan data Hicon, sebanyak 43,4 persen responden percaya isu SARA efektif.

Dia memandang strategi ini wujud ketidakpercayaan diri. Padahal visi misi kedua capres jelas dan tegas. Namun implementasi di kalangan grassroot berkata lain. Hasilnya, komitmen kampanye tidak sejalan dengan visi misi yang diutarakan.

“Sayangnya, tidak semua paslon, tim maupun konstituen mengimplementasikan sesuai komitmen. Akar bawah bermain, di satu sisi politisi mendiamkan dan menganggap sebagai senjata jitu meraup suara,” tegas Allan.

Pola kampanye ini telah digunakan sejak Pilpres 2014. Kala itu, intensitasnya lebih tinggi. Penyebab menurunnya strategi SARA karena petahana memilih sosok tokoh agama sebagai calon wakil presidennya.

“Diskriminasi memang menurun dibandingkan 2014, tapi tetap dipandang efektif. Sebenarnya bisa dicegah, karena ada aturan tegas kampanye hitam dalam Pasal 280 ayat (1) UU 7/2017. Ancaman pidana dua tahun dan denda Rp 24 juta,” kata Allan. (dwi/iwa/rg)