JOGJA – Gubernur DIJ yang juga raja Keraton Jogja Sultan Hamengku Buwono X menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga mendiang Albertus Slamet Sugiardi, warga Purbayan, Kotagede. Ini menyusul dipotongnya salib atas desakan warga yang kemudian viral itu .
HB X mengatakan, ada beberapa pihak yang mungkin tercederai terkait adanya pemotongan simbol suatu agama oleh masyarakat Jogja. Permintaan maaf juga ditujukkan kepada Vikep dan Paroki Pringgolayan yang mungkin terganggu atas kejadian tersebut.
“Atas nama semua warga, saya memohon maaf atas peristiwa ini,” ujar Gubernur HB X dalam jumpa pers di Balai Kota Timoho, Kamis (20/12). Hadir dalam acara ini Wali Kota Jogja Haryadi Suyuti.
Seperti diberitakan, kasus ini menimpa menimpa Albertus Slamet Sugiardi, warga Purbayan. Mendiang adalah warga nonmuslim yang dimakamkan di kuburan Jambon, Kotagede. Informasi yang berkembang, ke depan oleh pengurus kampung makam itu akan diproyeksikan sebagai makam khusus muslim.
Gubernur mengakui, kasus pemotongan salib itu merupakan kurangnya pemahaman warga tentang hukum konstitusi yang berlaku di negaranya. Dan tidak memperkirakan bahwa dengan adanya peristiwa tersebut akan berbuntut panjang.
Sehingga, lanjut HB X, warga kemudian melakukan cara yang praktis agar tidak terjadi gejolak yang menimbulkan konflik yaitu dengan memotong salib. Padahal hal itu mungkin tidak boleh dilakukan, karena merupakan simbol suatu kepercayaan.
Setelah kejadian ini dan mengantisipasi terulang, gubernur mengimbau perlu adanya peran pembina wilayah dalam hal ini. Untuk di tingkat terbawah, kecamatan dan kelurahan dapat memberi pemahaman kepada masyarakat tentang peraturan konstitusional.
“Pak camat dan lurah tidak melihat kesepakatan saja. Jika salib itu merupakan suatu simbol, lebih baik jangan dipasang daripada dipotong, misalnya. Perlu diterapkan kepada masyarakat juga tentang sikap Ngono yo ngono tur ojo ngono, sithik iding dan tepa selira,” tambahnya.
Dalam jumpa pers ini, ia sempat menyayangkan dengan beberapa pemberitaan berlebihan yang mengarahkan Jogjakarta dengan predikat wilayah intoleran. Dia menilai ada pemberitaan yang terkesan berlebih dan belum tentu melihat kondisi faktual.
Gubernur juga menegaskan hingga saat ini DIJ masih menjunjung tinggi toleransi. Dilhat dari informasi yang dia terima, warga tetap membantu proses pemakaman almarhum Slamet.
Ketika ditanya apakah kasus ini akan dibawa ke ranah hukum atau tidak, HB X belum bisa berkomentar banyak. Dia menngatakan belum tahu persis apakah ini termasuk pelanggaran atau bukan.
“Ya, pertama saya juga tidak tahu persis apakah itu pelanggaran hukum atau tidak. Kedua, sebenarnya itu salib atau papan nama, kosik (sebentar, Red) kita dalami dulu,” jelasnya.
Wali Kota Haryadi Suyuti (HS) mengatakan, dengan kejadian ini menjadi pembelajaran kepada pemangku kepentingan ke depannya. “Besok akan akan kami bentuk aturan tentang status tanah makan, siapa yang boleh dimakamkan di situ. Jangan sampai kearifan lokal menjadi hal yang diperdebatkan,” katanya.
Ia juga menegaskan sebelum dan setelah kejadian ini, kondisi sosial di masyarakat tetap kondusif. Setuju dengan Sultan HB X bahwa pemberitaan yang ada di luar yang mungkin terlalu berlebihan.
“Konstruksi sosialnya tidak ada apa-apa. Yang di luar sana yang agak tinggi. Semua hadir di sini untuk klarifikasi, agar terjadi kejelasan tentang peristiwa kemarin,” papar wali kota untuk dua periode ini.
Ditanya ada pihak tertentu yang menyulut pemotongan salib itu, Haryadi menjamin tidak ada pergerakan semacam itu. Menurutnya, kehidupan keluarga almarhum dan warga tetap harmonis. “Keluarga selama ini juga tidak pernah ditekan oleh siapa pun,” ungkapnya.
Sedangkan menurut Lurah Purbayan Suradi, selama tujuh bulan dia menjabat tidak pernah ada konflik intoleransi di wilayahnya. Dia juga sempat menjelaskan bahwa kejadian yang viral itu sudah melalui kesepakatan dari masyarakat.
Ketua RW 53 Purbayan Slamet Riyadi tidak bisa berkomentar banyak terkait kasus ini. Dia mengaku pihaknya sedang mendalami solusi ke depannya agar warga di wilayahnya tetap harmonis.
Namun dia membenarkan selama ini kampungnya memang memiliki peraturan sendiri terkait kepercayaan, khususnya dalam masalah peribadatan. Alasannya, untuk tetap menjaga kondusivitas warga yang mayoritas muslim.
“Selama ini kami lakukan hanya agar warga tetap kondusif. Dan bentuknya imbauan, bukan larangan,” jelasnya. (cr5/laz/fn)