KANGEN nonton film dengan gaya bertutur yang irit pemain, menegangkan, dan potensial nggak bikin ngantuk karena berteka-teki macam Locke dan Buried lagi? Tonton film ini.

Mengisahkan tentang seorang polisi, yang tengah piket di pusat telepon darurat pada malam hari, sedang mendapatkan kontak permintaang tolong dari seorang perempuan korban penculikan. Si polisi bernama Asger ini berkejaran dengan waktu menolong si penelepon hanya melalui komunikasi layanan telepon kantor pusat darurat.

Film dengan pemeran yang irit, tentu memberikan beban yang cukup berat pada pundak pemeran utamanya. Untung saja si pemeran karakter utama dalam film ini menjalankan tugasnya cukup memuaskan. Rona wajah tegang, gundah, dan resahnya cukup membuat saya dapat memasuki nuansa ketegangan yang ingin diciptakan oleh si sutradara melalui liukan demi liukan dialog dalam plotnya.

Yang paling patut diapresiasi dari film ini adalah ide dasar konflik yang diciptakan untuk menggerakkan roda plotnya supaya makin ke belakang makin mengikat penontonnya untuk bersama-sama dengan karakter utama dalam film menuntaskan petualangan dialogis melalui sambungan telepon. Visualisasi tergantikan oleh dialog verbal yang mana membuat saya sebagai penonton sedikit merasa seperti mengikuti sandiwara radio yang diperkuat dengan gambaran ekspresi wajah karakternya.

Pemilihan kasus utama yang diangkat cukup cermat, berikut mempertimbangkan konteks sosial set film yakni di Kopenhagen. Bukanlah sensasi kamuflase dari pelintiran plot yang membuat saya senang menikmati film ini, melainkan lebih pada aspek permainan drama intuisi psikologis yang reflektif. Satu film kecil (ditilik dari skala produksinya) yang disodorkan ke Akademi Oscar 2019 sebagai perwakilan dari Denmark ini menyajikan drama instingtif yang manusiawi. (ila)

*Penulis adalah penggemar film dalam negeri dan penikmat The Chemical Brothers yang bermukim di Jogja Utara.