JOGJA – Sudah sejak jauh hari para pengamat mengingatkan tentang potensi bencana gempa dan tsunami di lokasi bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA). Sayangnya di saat proses pembangunan ini belum dibarengi dengan mitigasi bencana.
Padahal rencananya NYIA mulai dioperasikan April tahun ini. “Anggaran khusus untuk mitigasi bencana ini tidak ada, adanya alokasi dana untuk rekontruksi dan rehabilitasi pasca bencana,” ujar Asisten Deputi Infrastruktur Pelayaran Perikanan dan Pariwisata Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Rahman Hidayat dalam diskusi panel Masa Depan Mitigasi Bencana Tsunami di Indonesia di Hotel The 101 Senin (14/1).
Rahman menjelaskan anggaran untuk mitigasi bencana di Indonesia sendiri belum dimasukkan dalam APBN. Lalu bagaimana nasib mitigasi bencana bandara NYIA? Menurut Rahman, Peraturan Presiden (Perpres) nomer 98 tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan dan Pengoperasian Bandara Baru di Kulonprogo. Dalam pasal 16 sudah diatur tentang pelaksanaan mitigasi bencana. Di poin E disebutkan Pemerintah memerintahkan kepada Pemprov DIJ, Pemkab Kulonprogo, dan Pemkab Purworejo untuk membangun kawasan mitigasi bencana.
“Kenyataannya sampai sekarang belum dilaksanakan. Kami dan kawan-kawan dari Transformasi Cita Infrastruktur (TCI) sudah berkali-kali mengadakan focus group discussion (FGD) dan memberikan usulan untuk pembangunan mitigasi. Nnamun tidak ada tanggapan serius,” keluh Rahman.
Dewan pengawas TCI yang sekaligus peneliti tsunami Widjo Kongko menambahkan, di selatan Pulau Jawa dari ujung barat-timur terdapat tiga Megathrust atau lempeng raksasa, yang masih aktif. Jika terjadi gempa dari gerakan Megathrust tersebut yang berkekuatan 8 skala richter maka akan terjadi tsunami hingga ketinggian maksimal 10 meter dengan kecepatan delapan meter perdetik.
“Dengan energi tersebut bisa dibayangkan lokasi bandara yang hanya berjarak kurang dari 500 meter dari garis pantai bisa habis kena tsunami dan bisa menyapu daratan hingga 3-4 kilometer. Maka perlu sistem mitigasi yang serius untuk mengurangi energi tsunami yang besar,” jelasnya.
Ketua TCI Tri Budi Utama mengungkapkan, ada empat target pengurangan dalam pembangunan mitigasi ini yaitu kematian akibat bencana, jumlah penduduk terdampak bencana, jumlah kerugian akibat bencana, dan kerusakan infrastruktur. Menurut dia, bukan hanya infrastruktur di tepi pantai yang dibangun. Tapi juga bangunan gedung terminal yang harus dirancang “ramah” tsunami sekaligus berfungsi sebagai bangunan shelter dan evakuasi.
Pihaknya mengusulkan model atau skenario mitigasi tsunami untuk bandara yaitu dengan membangun sand dune atau bukit pasir dan ditanam cemara udang. “Sementara yang paling efektif adalah model ini. Kami ada beberapa model namun biayanya cukup besar,” tuturnya.
Tri menambahkan, sistem atau model tersebut merupakan sistem gali timbun untuk membuat bukit hutan cemara yang tanahnya diambilkan pasir sebelumnya. Cekungan yang ada akibat penggalian bisa digunakan untuk penampungan air bersih yang menghubungkan Sungai serang (timur bandara) dan Sungai Bogowonto (barat bandara).
“Kawasan di cekungan tersebut juga bisa dimaksimalkan sebagai sarana olahraga dan pariwisata seperti golf. Dengan perkiraan investasi Rp 50 miliar, kami perkirakan konsep ini akan memberikan keuntungan lebih dari Rp 6,3 miliar pertahunnya,” ungkapnya. (ita/pra/fn)