Kerajinan pembuatan wayang kulit di Pucung Wukirsari, Imogiri masih ada. Namun, bersamaan dengan perkembangan zaman dan teknologi, jumlah peminat tatah sungging semakin sedikit.
Meitika Candra Lantiva, BANTUL
KERAJINAN pembuatan wayang kulit menjadi salah satu potensi wisata di Pucung Wukirsari, Imogiri. Namun potensi tersebut semakin terkikis. Penyebabnya, minimnya penerus pembuat wayang kulit. Ketertarikan pemuda terhadap kerajinan tersebut mulai berkurang.
Menurut Ketua Paguyuban Perajin Wayang Kulit, Suyono, 53, perajin wayang kulit didominasi usia di atas 30 tahun. Sementara untuk usia produktif kurang tertarik menggeluti tatah sungging tersebut. Karena memerlukan kesabaran dan ketelitian tinggi.
”Kemauan belajar tatah sungging mulai berkurang. Mungkin karena proses pengerjaan membutuhkan waktu yang lama,” ungkap Suyono.
Dikatakan, kemauan belajar anak-anak zaman sekarang berbeda dengan dahulu. Minat terhadap kerajinan wayang kulit cenderung rendah.
Kata Suyono, kerajinan wayang kulit sudah ada sejak 1917. Warisan tersebut sudah melekat dan membudaya pada sebagian besar warga Pucung.
Kerajinan tersebut bermula dari seorang abdi dalem Keraton Jogjakarta. Dikenal dengan nama Mbah Glemboh. Dia adalah abdi tujuh yang ditugaskan mengurus wayang di keraton.
Sejak saat itu dia tertarik belajar membuat wayang kulit. Mbah Glemboh memohon izin keraton untuk mengembangkannya di sekitar rumah. Berlokasi di Pucung, Wukirsari. Saat itu dia sampai memiliki lima pegawai.
”Sebelum 1998 beliau memiliki 1.300 perajin wayang kulit. Sekarang sekitar 600 perajin,” ungkap Suyono.
Penurunan jumlah perajin wayang kulit paling besar terjadi pada 1998. Saat itu perajin wayang kulit diguncang krisis moneter. ‘’Pasar makin buruk dan masyarakat banyak beralih profesi,” kenangnya.
Meski minat generasi muda terhadap tatah sungging menurun, kerajinan tersebut masih gemilang di pasaran. Peminatnya masih tinggi. Suyono menyebutkan, peminat utama yakni kolektor, perorangan atau pribadi.
”Pasarnya bagus, tapi peminatnya sedikit,” ungkap Suyono.
Dia berharap peran pemerintah melestarikan budaya tatah sungging diperlukan. Agar warisan budaya tersebut semakin mengakar kuat pada generasi mendatang.
Lurah Desa Wukirsari Susilo mengatakan, desa berupaya mengembangkan kawasan tersebut. Dengan dana desa akan dilakukan pemberdayaan terhadap masyarakat untuk mendongkrak wisata.
”Salah satunya edukasi tentang tatah sungging,” ungkapnya (17/1). (cr6/iwa/fn)