Prospek bangunan apartemen di DIJ memang belum begitu terlihat. Walaupun di DIJ sudah banyak bangunan tinggi yang tumbuh. Hanya saja sebagian besar pengembang yang bermain di sektor ini adalah para pengembang besar dari luar daerah.
Sebenarnya, para pelaku usaha properti yang tergabung dalam REI DIJ sudah diberi bekal untuk mengembangkan hunian vertikal ini. Hanya saja, masih banyak pertimbangan yang harus disiapkan secara matang. Terutama membuat pola pikir masyarakat beralih dari hunian tapak ke hunian vertikal.
Sasaran konsumen yang mungkin dan masuk akal untuk hunian vertikal adalah generasi milenial. Itu sebab bagi para generasi milenial di tengah minimnya lahan, tinggal di hunian vertikal adalah kemungkinan yang paling mungkin.
Sayangnya, hampir 80 persen hunian vertikal yang tumbuh di DIJ desain ruangannya masih bertipe studio. “Untuk itu oengembangannya harus disesuaikan dengan demand,” ujar Rama Adyaksa Pradipta.
Adapun yang tengah didorong oleh PDD REI DIJ adalah pengembangan hunian vertikal dengan dua kamar layaknya rumah tipe 36. Sebab untuk menarik konsumen konsep hunian vertikal harus disesuaikan seperti rumah tapak.
“Kalau tipe studio kan hanya seperti kos,” ujarnya.
Penyesuaian konsep hunian vertikal iu juga dipengaruhi oleh backlog yang terjadi. Sebab, dengan adanya hunian vertikal belum tentu bisa mengatasi kekurangan hunian yang ada. “Ya kalau mereka butuhnya apartemen, kalau ternyata butuhnya rumah tapak kan jadinya onsep hunian vertikal itu diubah seperti rumah tapak pada umumnya,” jelasnya.
Bukan hanya terkait konsep saja, harga juga menjadi sala satu pertimbangan. Dari analisis yang dilakukan, kisaran harga yang mungkin bisa terbeli oleh masyarakat adalah Rp 300 juta hingga Rp 400 juta.
Sementara itu, progres pertumbuhan hunian vertikal di Dij juga menjadi perhatian khusus oleh Sosiolog UGM Suryono Usman. Dia melihat budaya di DIJ ini masih kurang mendukung untuk hunian vertikal.
Setidaknya ada beberapa permasalahan yang muncul. Terutama terkait dengan masyarakat sekitar proyek. “Konflik lingkungan bisa saja terjadi, seperti penolakan dari masyarakat,” ujar Suryono.
Selain itu, akan banyak terjadi monopoli dan diskriminasi yang terjadi. Sebab, gap terhadap masyrakat yang tinggal di sekitar apartemen terhadap penghuni apartemen semakin nyata. Akhirnya secara tidak langsung terjadi perang urat syaraf antara pengelola dan masyarakat sekitar. Ketidakharmonisan inilah yang seharusnya dihindari.
Namun, adanya apartemen juga tidak sepenuhnya hanya berkutat pada hal negatif saja. Sebab, salah satu kebutuhan dasar manusia selain sandang (pakaian) adalah papan (rumah). Kemunculan apartemen ini juga menjadi sebuah solusi untuk kesulitan tempat tinggal untuk masyarakat. “Setidaknya mampu memenuhi kebutuhan dasar,” jelasnya. (har/din)