RT 34 RW 09 Kampung Sorogenen, Sorosutan, Umbulharjo, Kota Jogja pernah menjadi endemis DBD. Sejak terbentuk taruna pemantau jentik, kasus penyakit mematikan itu nihil.
SEVTIA EKA N, Jogja
SETIAP dua pekan sekali beberapa bocah itu punya rutinitas wajib. Saban hari Minggu yang telah terjadwal, mereka mesti berkeliling kampung. Tepatnya RT 34 RW 09 Kampung Sorogenen, Sorosutan, Umbulharjo, Kota Jogja. Mereka keluar masuk dari rumah satu ke rumah warga lainnya. Seperti yang mereka lakukan kemarin pagi (10/2).
Namun, mereka ini tak hendak mengajak tetangganya itu bermain. Atau sekadar menikmati hari libur sekolah. Mereka hanya memantau halaman dan kamar mandi setiap rumah.
”Memeriksa apakah ada jentik atau tidak,” jelas Rahmat Alfi Ismanggala, salah satu dari beberapa bocah itu menceritakan rutinitasnya sebagai Taruna Pemantau Jentik (Tamantik) Kelurahan Sorosutan.
Rutinitas itu sudah dijalani Alfi, sapaan Rahmat Alfi Ismanggala, sejak dua tahun lalu. Setelah siswa SDN Giwangan ini menderita demam berdarah dengue (DBD).
”Tertarik bergabung biar tidak ada teman atau tetangga yang terkena DBD,” tuturnya.
Selain Alfi, Asti Salwa Astarinda juga ikut bergabung menjadi tamantik. Siswi SDN 3 Kotagede ini juga punya latar belakang serupa.
”pernah terkena DBD juga,” ucap Asti.
Dari itu, Alfi maupun Asti tidak pernah merasa terbebani dengan tanggung jawab memantau jentik di bak kamar maupun genangan. Sebaliknya, mereka justru merasa bahagia. Terutama saat menemukan jentik di bak kamar mandi atau genangan di halaman rumah warga.
”Karena ada dendanya. Sebesar Rp 500 sampai Rp 2.000 rupiah. Sesuai dengan jumlah jentik yang dilihat. Kalau jentiknya sedikit, biasanya Rp 500 rupiah,” ungkapnya.
Ya, mereka bakal menyusun laporan usai melakukan pemantauan. Isinya, rumah mana saja yang kedapatan ada jentiknya. Laporan yang tersusun rapi ini lalu disetorkan kepada koordinator tamantik.
Saat berkeliling kampung, tamantik cilik tidak pernah sendirian. Beberapa anak bakal membuntuti mereka, sehingga salah satu gang di Kampung Sorogenen setiap hari Minggu pasti lebih ramai.
”Bisa sembari bermain dengan teman-teman,” sahut Asti.
Menurut Koordinator Tamantik Kampung Sorogenen Sugiyanti, keberadaan tamantik cilik sangat membantu. Sebagai buktinya, jumlah kasus DBD menjadi turun.
”Tamantik dibentuk pada 2013. Sejak Sorosutan endemis DBD. Ada 17 kasus saat itu,” sebut Sugiyanti mengungkapkan sejak 2015 tak ada lagi kasus DBD.
Personel tamantik cilik, tambah Yanti, selalu ada regenerasi. Yang pasti, tanpa paksaan. Saat personel tamantik cilik sudah mulai sibuk dengan kegiatan sekolah dan organisasi, anak kecil yang sering ikut bertugas akan menggantikan. (zam)