JOGJA – Kasus demam berdarah dengue (DBD) melonjak tajam. Hampir di seluruh kabupaten/kota di DIJ. Tingginya kasus itu patut diwaspadai sebagai perubahan pola siklus penyakit yang disebabkan gigitan nyamuk aedes aegypti itu.

Kepala Dinas Kesehatan DIJ Pembayun Setyaningastutie menyebut bahwa peningkatan kasus DBD di DIJ pada awal tahun ini memang cukup tajam, sehingga butuh tindakan antisipasi ekstra. Meski, puncak siklus lima tahunan DBD terjadi pada 2016.

”Agar tidak terjadi kejadian luar biasa di tahun 2019. Agar tidak terjadi hal serupa (seperti pada 2016, Red),” jelas Pembayun di kantornya pekan lalu.

Di antara tindakan pencegahan yang dilakukan Dinkes DIJ, antara lain, berkoordinasi dan menggelar pertemuan rutin pengendalian DBD dengan dinkes kabupaten/kota. Menurut Pembayun, dinkes juga telah melayangkan surat kepada kabupaten/kota di DIJ. Isinya berupa kesiapsiagaan menghadapi DBD.

Berbagai upaya lain Dinkes DIJ yang tak kalah penting adalah mempersiapkan logistik, melakukan rapid test dengue NS1 untuk diagnosis cepat, larvasida untuk pengendalian jentik nyamuk, fogging, hingga peningkatan kapasitas kader DBD.

”Juga audit kasus kematian DBD,” ucapnya.

Selain kesiapan internal, Pembayun juga mengingatkan agar masyarakat menyadari pentingnya pencegahan melalui 3M plus. Yaitu, menguras, menutup, dan memanfaatkan kembali barang bekas.

”Plus menghindari gigitan nyamuk dengan baju panjang, rapellent (obat penolak nyamuk), dan lain sebagainya,” lanjutnya.

Dari catatan dinkes, jumlah kasus DBD di Kabupaten Sleman berada di urutan pertama. Dengan 63 kasus. Paling sedikit Kulonprogo. Dengan 15 kasus. Selengkapnya lihat grafis.

”Di DIJ total ada 195 kasus, tapi yang meninggal dunia nol,” ungkapnya.

Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinkes Sleman Dulzaini membenarkan bahwa kasus DBD di wilayahnya cukup tinggi. Namun, sebarannya tidak merata. Ada beberapa wilayah yang menjadi endemis penyakit mematikan itu. Semuanya berada di wilayah yang berbatasan dengan Kota Jogja. Yakni, Kecamatan Gamping, Depok, Mlati, Godean, dan Kalasan.

”Kecamatan itu setiap tahun angka suspect DBD sangat tinggi dibanding yang lain,” ungkap Dulzaini menegaskan bahwa Kabupaten Sleman dalam kurun waktu 2010-2019 belum pernah menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) kasus DBD.

Dengan tingginya kasus DBD, Dulzaini mengungkapkan, Dinkes Sleman menganggarkan Rp 500 juta untuk penanganan dan pencegahan DBD. Anggaran itu dialokasikan untuk seluruh puskesmas. Agar digunakan untuk berbagai program. Antara lain, pembinaan juru pemantau jentik (jumantik). Lantaran setiap puskesmas ditarget membina 10 dusun.

”Target program jumantik pada 2019 menjangkau 320 dusun,” sebut.

Menurutnya, satu-satunya cara yang paling efektif untuk mengantisipasi DBD adalah dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Tapi, program ini hanya bisa berjalan efektif dengan memberdayakan masyarakat.

”Selain itu, menguras, menutup dan mengubur plus me-recycle (3M plus) juga masih relevan,” tuturnya.

Guna memberantas jentik nyamuk, lanjut Dulzaini, dinkes juga menyediakan abate. Obat pembunuh jentik ini bisa diperoleh di setiap puskesmas. Gratis.

”Karena tahun ini masuk dalam siklus empat tahunan DBD, sehingga kami harapkan agar masyarakat semakin waspada,” pintanya.

Berbeda dengan Sleman, tingginya kasus DBD di Kota Jogja belum dikategorikan sebagai siklus puncak. Kepala Dinkes Kota Jogja Fita Yulia Kusworini menyebutkan, jumlah kasus DBD di wilayahnya hingga sekarang mencapai 35 kasus. Namun, Fita menolak jika tingginya kasus itu disebut sebagai siklus rawan lima tahunan.

”Karena masih dalam masa musim penghujan, sehingga genangan bisa muncul dimana-mana. Nah, genangan air jernih tempat nyamuk aedes aegypti berkembang biak,” tuturnya.

Meski tinggi, Fita lebih memilih mengedukasi masyarakat sebagai langkah antisipasi. Dengan meminta masyarakat memperhatikan kebersihan lingkungannya. Sebab, membersihkan lingkungan efektif untuk memberantas jentik nyamuk.

Fogging itu efektifnya untuk nyamuk dewasa. Nyamuk yang masih dalam bentuk jentik tidak mati,” ingatnya.

Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Menular dan Imunisasi Dinkes Kota Jogja Endang Sri Rahayu mengungkapkan hal senada. Dia mencatat sebaran kasus DBD didominasi di wilayah padat penduduk. Antara lain, Baciro, Demangan, Notoprajan, dan Rejowinangun.

Penularan penyakit DBD di Kabupaten Bantul hampir serupa. Wilayah endemis juga berada di perbatasan dengan Kota Jogja. Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinkes Bantul Sri Wahyu Joko Santoso mencatat, Kecamatan Kasihan rutin menjadi endemis DBD. Disusul Kecamatan Banguntapan dan Sewon. Penyebabnya, tiga kecamatan yang berbatasan dengan Kota Jogja ini sebagai wilayah padat penduduk.

”Juga karena faktor kebersihan lingkungan yang memungkinkan pertumbuhan nyamuk menjadi pesat,” ujarnya.

Dari Kabupaten Gunungkidul dilaporkan, penyakit DBD tidak hanya menyerang orang dewasa. Melainkan juga remaja dan balita. K

”Penderitanya merata di 18 kecamatan,” jelas Sekretaris Dinkes Gunungkidul Priyanta Madya Satmaka.

Kendati begitu, Priyanta mencatat ada dua kecamatan yang menjadi wilayah endemis. Yakni, Kecamatan Karangmojo dan Wonosari.

Menurutnya, ada sejumlah faktor pemicu tingginya penderita DBD pada awal tahun ini. Mulai tingginya curah hujan, peningkatan sebaran kasus di tempat lain (luar wilayah, Red), dan perilaku masyarakat.

Sementara itu, sebaran penyakit DBD di Kabupaten Kulonprogo tidak hanya di wilayah dataran rendah. Melainkan juga di wilayah pegunungan. Lantaran nyamuk aedes aegypti sudah beradaptasi di dataran tinggi.

”Dengan temuan kasus di dataran tinggi, bisa dikatakan kini hampir di seluruh kecamatan di Kulonprogo berpotensi DBD,” jelas Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Dinkes Kulonprogo Baning Rahayujati.

Dijelaskan, siklus enam tahunan biasanya diwarnai dengan lonjakan kasus tiap enam tahun sekali. Pola ini dihitung sejak temuan kasus DBD pada tahun 1998 silam hingga sekarang. Di Kabupaten Kulonprogo, tahun 2018 jumlah penderita DBD di Kulonprogo sebanyak 109 orang, naik dibanding tahun 2017 yang berjumlah 79 kasus.

”Siklus enam tahunan itu terjadi pada 2016, penderitanya melonjak hingga 381 penderita. Jika merujuk pada pola tersebut maka dimungkinkan 2022 akan kembali terjadi lonjakan. Namun kami masih terus melakukan pencermatan dengan perubahan siklus yang bisa saja terjadi,” jelasnya.

Untuk pencegahan, kata Baning, proses fogging masih menjadi salah satu penanganan ketika ditemukan KLB. Dinkes juga terus melakukan pemantauan daerah-daerah endemis. Genangan air yang menjadi habitat jentik nyamuk juga menjadi perhatian.

Kepala Dinkes Kulonprogo Bambang Haryatno mengungkapkan, penanganan DBD harus menjadi tanggung jawab bersama. Semua harus intens melakukan PSN.

”Usia nyamuk kan sekitar 10-14 hari, kalau (PSN, Red) dilakukan seminggu sekali pasti efektif untuk menghilangkan jentik nyamuk,” tegasnya. (cr9/dwi/har/cr6/gun/tom/zam)