JOGJA- Banyaknya tempat nongkrong yang mengklaim sebagai cafe menjadi perhatian Dinas Pariwisata (Dinpar) DIY. Mereka akan melakukan standarisasi cafe. Termasuk mengawasi makanan dan minuman yang dijual. Itu sebagai antisipasi cafe juga menjual minuman beralkohol.
Menurut Kepala Dinpar DIY Singgih Raharjo, pengembangan dan inovasi untuk usaha cafe itu sebenarnya bagus. Namun, dirinya berpesan, jangan sampai merusak definisi yang ada. Apalagi sebentar lagi bandara baru New Yogyakarta International Airport di Kulonprogo akan beroperasi. Jangan sampai pelaku usaha cafe di sana tidak memiliki standar.
“Yang dikhawatirkan itukan pelaku usaha di sana bukanya asal- asalan. Bukan cafe dibilang cafe. Padahal untuk mendirikan cafe itukan ada standarisasinya,” katanya dalam Bimtek Usaha Jasa Pariwasata Cafe di Hotel Royal Darmo, kemarin (14/2).
Untuk standarisasi usaha cafe ini sesuai dengan Permenparekraf No 10/2014. Dalam aturan itu menyebutkan semua produk, layanan, dan pengelolaan usaha cafe ada aturannya. Termasuk izin mendirikan usaha dengan tanda daftar usaha perdagangan (TDUP). Agar tak rancu antara definisi dan implementasi, Dinpar DIY bekerjasama dengan Kementerian Pariwisata menggelar bimbingan teknis. “Tujuannya untuk memberikan pembekalan kepada pelaku usaha untuk patuh terhadap peraturan,” ujar mantan Wakil Kepala Dinas Kebudayaan DIY itu.
Singgih menambahkan, berdasarkan pengetahuan cafe itu lebih memberikan layanan yang menjual kenyamanan. Meski tak membatasi jika pemilik cafe mencoba memberi layanan lebih baik dalam hal atraksi ataupun amenities.
“Justru jika mau menambahkan atraksi ataupun amenities kami sangat apresiasi. Selain dapat meningkatkan kualitas cafe serta daya saing juga dapat menaikkan jumlah kunjungan,” ujarnya.
Singgih menjelaskan tahun ini pihaknya baru menggenjot jumlah kunjungan dari lima juta sekian menjadi 5,9 wisatawan. Untuk itu perlu sinergitas antara Dinpar, masyarakat, dan instansi terkait. Dia pun berharap dengan bimtek ini pelaku usaha jasa pariwisata tidak hanya meningkatkan standarisasinya tetapi juga memiliki jiwa kompetisi. “Sebab tanpa adanya jiwa kompetisi bisnis akan berjalan biasa saja. Atau orang jawa bilang nrimo,” jelasnya. (*/met/pra/riz)